Karakteristik Internet Jadi Pertimbangan MK Tolak Seluruh Permohonan Uji Materiil Pasal 40 UU ITE
Satu di antara sejumlah pertimbangan MK menolak seluruh permohonan uji materiil pasal blokir internet adalah karakter internet
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Karakter internet jadi satu di antara sejumlah pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji materiil pasal blokir internet atau pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan para Pemohon uji materiil mendalilkan pemutusan akses dalam norma pasal blokir internet tanpa didahului dengan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) secara tertulis merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk memperoleh informasi dan hak berkomunikasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945.
Menurut Mahkamah, kata Enny, penting untuk dijelaskan terlebih dahulu bahwa pola teknologi informasi dan komunikasi yang saat ini banyak digunakan adalah internet.
Internet, lanjut dia, merupakan wadah komunikasi digital yang dapat melibatkan siapa pun dengan karakteristik penyebaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sangat cepat, luas, dan masif dengan tidak mengenal ruang dan waktu.
Apabila informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum tersebut telah terlebih dulu diakses sebelum dilakukan pemblokiran, lanjut dia, maka dampak buruk yang ditimbulkan akan jauh lebih cepat dan masif.
Dampak buruk tersebut, lanjut dia, dalam batas penalaran yang wajar dapat menimbulkan kegaduhan, keresahan, dan/atau mengganggu ketertiban umum.
Baca juga: MK Sebut Tak Beralasan Dalil Pasal Blokir Internet Bertentangan dengan Jaminan Kepastian Hukum
Untuk itulah, kata dia, diperlukan kecepatan dan keakuratan yang terukur oleh Pemerintah untuk dapat sesegera mungkin melakukan pencegahan dengan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum.
Sebab, lanjut dia, virtualitas internet memungkinkan konten terlarang bersifat destruktif dan masif yan bermuatan melanggar hukum, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dapat tersebar dengan cepat, di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja.
Karena itu, kata dia, peran Pemerintah dalam menjaga dan membatasi lalu lintas dunia siber sangat diperlukan mengingat karakteristik dari internet tersebut yang mudah membawa dampak buruk bagi masyarakat.
Lanjut dia, tidak mungkin bagi pemerintah untuk menerbitkan terlebih dahulu KTUN secara tertulis baru kemudian melakukan pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara elektronik untuk melakukan pemutusan akses sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95 PP 71/2019.
Baca juga: MK Sebut Dalil Pertentangan Norma Pasal Blokir Internet dengan Prinsip Negara Hukum Tidak Beralasan
Sebab, kata dia, proses penerbitan KTUN tertulis membutuhkan waktu yang tidak mungkin akan lebih cepat dari waktu sebaran muatan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan dilarang.
Terlebih, lanjut dia, jika muatan atau konten dilarang (ilegal) tersebut telah berada di area komunikasi privat, maka sebarannya pun semakin tidak terkendali.
Karena itu, lanjut Enny, dalam para Pemohon sesungguhnya tidak memohon kepada Mahkamah untuk mengilangkan norma pasal 40 ayat (2b) UUU 19/2016 tentang ITE.
Namun, memohon kepada Mahakamah agar norma tersebut diberi tafsir terbatas dengan menambahkan frasa "setelah mengeluarkan keputusan administrasi atau keputusan tata usaha negara secara tertulis".
Sebagaimana karakteristik virtualitas ruang siber memiliki daya sebar yang sangat cepat, di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja.
Maka adanya penambahan frasa tersebut justru akan menghambat peran pemerintah untuk melindungi kepentingan umum dari segala bentuk gangguan muatan/konten dilarang (ilegal).
Baca juga: Putusan MK Atas Uji Materil Pasal Blokir Internet Diwarnai Dissenting Opinion 2 Hakim Konstitusi
Enny mengatakan tindakan pemerintah melakukan pemutusan akses tidak berarti menghilangkan hak para Pemohon untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagaimana dijamin oleh konstitusi.
Namun, lanjut dia, penggunaan hak tersebut tidak boleh juga menghilangkan hak negara untuk melindungi kepentingan umum, terlebih kepentingan anak-anak dari bahaya informasi yang memiliki muatan yang dilarang (ilegal) secara cepat.
Terlebih lagi, kata dia, terhadap tindakan pemerintah tersebut terbuka ruang untuk dilakukan proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga hak para Pemohon untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tetap dijamin.
Namun demikian, lanjut Enny, seusai dengan perkembangan teknologi digital terkait tindakan pemerintah melakukan pemutusan akses atas konten bermuatan ilegal, dapat saja bersamaan dengan itu pemerintah menyampaikan notifikasi digital berupa pemberitahuan kepada pihak yang akan diputus akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektroniknya.
Sehingga, kata dia, dalam tindakan Pemerintah tersebut tetap terjamin asas keterbukaan sebagaimana cerminan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.
"Dengan demikian, tidak terdapat juga persoalan konstitusionalitas norma pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 terhadap hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang dijamin Pasal 28F UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon yang menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD adalah tidak beralasan menurut hukum," kata Enny.
MK menolak seluruh permohonan uji materil pasal blokir internet dalam sidang pengucapan putusan, Rabu (27/10/2021).
Dalam konklusi, Ketua MK Hakim Konstitusi Anwar Usman mengatakan berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan Mahkamah berkesimpulan tiga hal.
Pertama, Mahkamah berwenang mengadili permohonan tersebut.
Kedua, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut.
Ketiga, Pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum.
"Amar Putusan. Mengadili. Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Anwar sebagaimana ditayangkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Rabu (27/10/2021).
Amar putusan tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 81/PUU-XVIII/2020.
Putusan tersebut merupakan putusan terhadap perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Permohonan tersebut diajukan oleh Pemohon I yakni Arnoldus Belau dan Pemohon II yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Dalam persidangan dibacakan oleh Hakim Konstitusi bahwa para pemohon mendalilkan dalam Pokok Permohonan bahwa pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang 19/2016 tentang ITE bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945.
Para Pemohon juga meminta kepada Mahkamah agar menyatakan pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945.
Hal tersebut sepanjang tidak dimaknai: "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat 2(b), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik setelah mengeluarkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum".
Dalam sidang disebutkan bahwa para Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan P-1 sampai P-29.
Para Pemohon juga telah mengajukan tiga orang ahli yang menyampaikan keterangan yakni Herlambang P Wiratraman, Oce Madril, dan Titik Puji Rahayu.
Para Pemohon juga telah mengajukan dua orang saksi yakni Asep Komarudin dan Victor Claus Mambor yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah di persidangan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.