Putusan MK Atas Uji Materil Pasal Blokir Internet Diwarnai Dissenting Opinion 2 Hakim Konstitusi
Permohonan tersebut diajukan oleh Pemohon I yakni Arnoldus Belau dan Pemohon II yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materil pasal blokir internet atau pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE diwarnai pendapat berbeda atau dissenting opinion dari dua orang Hakim Konstitusi.
Mereka adalah Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Saldi yang telah dipersilakan oleh Ketua MK Anwar Usman kemudian membacakan sejumlah alasan terkait dissenting opinion tersebut setelah amar putusan dibacakan Anwar.
Saldi menjelaskan di antaranya bahwa dalam norma pasal 40 ayat (2b) UUU 19/2016 (tentang ITE) sama sekali tidak termuat adanya prosedur yang mesti dilakukan pemerintah dalam melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan pemutusan akses.
Padahal, kata dia, dalam batas penalaran yang wajar wewenang yang diberikan dalam norma pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE kepada pemerintah adalah menyangkut atau berdampak pada pembatasan hak asasi manusia atau hak konstituisonal warga negara, sehingga seharusnya juga diatur secara jelas.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Tolak Seluruh Permohonan Uji Materiil Pasal Blokir Internet
Dalam hal ini, lanjut Saldi, norma dalam Undang-Undang mestinya memberikan kepastian mengenai bagaimana pembatasan hak tersebut dilakukan.
Sehingga, kata dia, warga negara atau lembaga yang terdampak akibat pembatasan hak tersebut mengetahui dasar atau pertimbangan pemerintah memutuskan dan/atau melakukan tindakan pembatasan hak atas informasi dimaksud.
Saldi mengatakan bahwa dengan merumuskan konstruksi hukum yang mengharuskan adanya ketentuan untuk melakukan pemutusan akses, pemerintah melakukan proses yang secara jelas dapat ditempatkan sebagai bagian dari bentuk etika dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu, kata dia, proses dengan alasan yang jelas dapat pula ditempatkan sebagai bagian bekerjanya mekanisme saling cek dan saling mengawasi atau checks and balances agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang sangat mungkin dari waktu ke waktu penyalahgunaan akan semakin meningkat seiring dengan kian kuatnya negara dalam menjalankan kewenangannya.
Dalam konteks itu, kata dia, pemerintah harus dibebani kewajiban menggunakan kewenangan dalam konstruksi hukum yang jelas dengan cara menerbitkan penjelasan secara tertulis dalam melaksanakan wewenang dimaksud.
Ia mengatakan bahwa sekalipun terdapat kewajiban pemerintah menerbitkan penjelasan secara tertulis dimaksud dalam melaksanakan wewenang dimaksud, kewajiban pemerintah tidaklah harus sama sebagaimana yang dimohonkan Pemohon, berupa "setelah menerbitkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis".
Akan tetapi, kata dia, cukup dengan penjelasan tertulis berupa pemberitahuan baik lewat surat tertulis maupun lewat digital yang disampaikan kepada pengguna informasi elektronik.
Sebab, kata Saldi, bila diwajibkan sebagaimana petitum yang dimohonkan Pemohon tindakan atau keputusan pemerintah demikian sebenarnya telah dapat diuji melalui peradilan tata usaha negara karena sudah meliputi tindakan dan keputusan.
Apabila norma dalam pasal yang diujikan dimaknai sebagaimana yang dimohonkan Pemohon, kata dia, dapat menutup ruang bagi "tindakan" pemerintah dalam penyelenggaraan negara.
Berdasarkan sejumlah pertimbangan termasuk pertimbangan tersebut, kata dia, dengan alasan untuk membangun dan menjaga etika dalam penyelenggaraan pemerintahan, mengejawantahkan prinsip checks and balances, dan mewujudkan kepastian hukum yang adil dalam sebuah negara hukum yang demokratis, Mahkamah harusnya menyatakan pasal 40 ayat (2b) UUU 19/2016 (tentang ITE) adalah konstitusional.
Hal tersebut, lanjut dia, sepanjang dimaknai: "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk mekakukan pemrusan akses terhadao Informasi Elektronik dan/atau Dokimen Elektronik yang memiliki muatab yang melanggar hukum setelah mengeluarkan atau disertai penjelasan tertulis atau digital".
"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, seharusnya permohonan Pemohon dinyatakan beralasan menurut hukum untuk sebagian," kata Saldi sebagaimana ditayangkan dalam kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI dalam sidang pengucapan putusan pada Rabu (27/10/2021).
Sebelumnya MK menolak seluruh permohonan uji materil pasal blokir internet dalam sidang pengucapan putusan di MK pada Rabu (27/10/2021).
Dalam konklusi, Ketua MK Hakim Konstitusi Anwar Usman mengatakan berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas Mahkamah berkesimpulan tiga hal.
Pertama, Mahkamah berwenang mengadili permohonan tersebut.
Kedua, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut.
Ketiga, Pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum.
"Amar Putusan. Mengadili. Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Anwar sebagaimana ditayangkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Rabu (27/10/2021).
Amar putusan tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 81/PUU-XVIII/2020.
Putusan tersebut merupakan putusan terhadap perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Permohonan tersebut diajukan oleh Pemohon I yakni Arnoldus Belau dan Pemohon II yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Dalam persidangan dibacakan oleh Hakim Konstitusi bahwa para pemohon mendalilkan dalam Pokok Permohonan bahwa pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang 19/2016 tentang ITE bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945.
Para Pemohon juga meminta kepada Mahkamah agar menyatakan pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945.
Hal tersebut sepanjang tidak dimaknai: "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat 2(b), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik setelah mengeluarkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum".
Dalam sidang disebutkan bahwa para Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan P1 sampai P-29.
Para Pemohon juga telah mengajukan tiga orang ahli yang menyampaikan keterangan yakni Herlambang P Wiratraman, Oce Madril, dan Titik Puji Rahayu.
Para Pemohon juga telah mengajukan dua orang saksi yakni Asep Komarudin dan Victor Claus Mambor yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah di persidangan.