Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

BRIN Luncurkan Aplikasi MonMang Versi 2

MonMang v2.0 adalah aplikasi digital pendukung penelitian, monitoring, sekaligus edukasi publik mengenai hutan Mangrove di Indonesia.

Editor: Content Writer
zoom-in BRIN Luncurkan Aplikasi MonMang Versi 2
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) meluncurkan aplikasi berbasis ponsel pintar, MonMang generasi kedua, atau MonMang v2.0, Jumat, 29 Oktober 2021. 

TRIBUNNEWS.COM - Melalui Pusat Riset Oseanografi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) meluncurkan aplikasi berbasis ponsel pintar, MonMang generasi kedua, atau MonMang v2.0 pada 29 Oktober 2021. Ini adalah aplikasi digital pendukung penelitian, monitoring, sekaligus edukasi publik karya anak negeri yang belum pernah ada sebelumnya, alias yang pertama di dunia.

Tentu muncul pertanyaan, mengapa hutan mangrove sampai perlu dimonitor, bahkan sampai perlu dibuatkan aplikasi digitalnya? Barangkali banyak yang belum tahu jika keberadaan hutan mangrove merupakan salah satu indikator kesehatan lingkungan hidup.

Hutan mangrove memiliki kontribusi yang sangat esensial bagi kawasan pesisir. Secara fisik, keberadaan mangrove menjadi pelindung wilayah pesisir dari ancaman abrasi akibat kenaikan muka air laut. Mangrove juga mampu mencegah masuknya air laut ke dalam sumur-sumur pemukiman di wilayah pesisir, atau dikenal sebagai intrusi, sehingga menjaga kualitas air tawar bagi masyarakat.

Secara global, hutan ini menyerap emisi gas rumah kaca (CO2), mengubahnya menjadi biomassa tumbuhan sehingga mangrove sangat penting dalam mitigasi perubahan iklim.

Dari sisi ekonomi, hutan mangrove juga memiliki manfaat untuk masyarakat luas, terlebih bagi warga di kawasan pesisir. Kawasan mangrove merupakan habitat bagi banyak biota laut seperti kepiting bakau, kerang, atau ikan-ikan yang memberikan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat. “Mereka, biota tersebut, membutuhkan dan hidup di kawasan mangrove,” kata Udhi Eko Hernawan, Plt Kepala Pusat Riset Oseanografi BRIN, di Jakarta.

Dan Indonesia merupakan negara dengan kawasan hutan mangrove terbesar di dunia. Sekitar 22,6 persen hutan mangrove di dunia ada di Indonesia. Luasannya, berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mencapai 3,31 juta hektare.

Sayangnya, “Ada laporan bahwa Indonesia mengalami degradasi luasan mangrove paling tinggi di dunia,” kata Udhi. Ini artinya sebuah ancaman bagi kehidupan pesisir, baik dari sisi alamnya juga perekonomian masyarakatnya.

Berita Rekomendasi

Karena itu, pada 2014 mulai muncul pemikiran untuk melakukan monitoring kawasan mangrove di Indonesia. Dalam Coral Reef Rehabilitation Management Program-Coral Triangle Initiative (COREMAP- CTI), sebuah upaya pemerintah Indonesia untuk menjaga kelestarian sumber daya dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Sebuah program yang berlangsung selama lima tahun dan dimulai pada 2014 itu.

Dalam sebuah kesempatan, Peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi BRIN, I Wayan Eka Dharmawan, di bawah bimbingan Profesor Pramudji, mencoba bertukar pikiran tentang pengelolaan mangrove di Indonesia. Mereka terlibat dalam sebuah diskusi tentang bagaimana cara memantau kondisi hutan mangrove di Indonesia. Pada saat itu, ada tantangan menarik terkait dengan hal tersebut, yaitu: cakupan luas mangrove Indonesia yang sangat besar sehingga membutuhkan keterlibatan pemerintah atau masyarakat lokal dalam memantau mangrove.

“Waktu itu pemikirannya, bagaimana membuat metodologi yang mudah, murah namun tetap berbasis ilmiah,” kata Wayan. Dasarnya, selain banyaknya jenis mangrove di Indonesia, diperkirakan ada 43 jenis, juga luasan cakupan pengamatan. Sampai dengan 2021 telah dibuat lebih dari 1.500 area pemantauan di lebih dari 40 lokasi di seluruh Indonesia. Dalam proses itu, diskusi juga melibatkan peneliti lain, Yaya Ihya Ulumuddin, yang saat itu tengah sekolah di Australia.

Setelah mempublikasikan dan mensosialisasikan teknik pemantauan mangrove tahun 2014, mulailah proses pengambilan data lapangan. Permasalahan baru muncul ketika dalam penentuan kondisi hutan yang tidak sinkron antara dua variabel ukuran yang tertuang dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup 201 tahun 2004 tentang baku kerusakan mangrove. Kerapatan dan persentase tutupan tidak mampu mewakili struktur hutan dari komunitas sehingga menyebabkan kebingungan dalam pengambilan keputusan.

Dari situ dimulailah diskusi lagi untuk menentukan satu nilai ukuran untuk dapat menggambarkan kesehatan atau tidaknya menimbulkan kebingungan dalam memutuskan kualitas hutan mangrove. Pengumpulan ribuan data berseri dan diskusi dengan ahli mangrove nasional kemudian melahirkan sebuah ukuran tunggal kesehatan mangrove. “Dan ukuran tunggal itu diberi nama Mangrove Health Index atau disebut MHI,” kata Yaya Ihya Ulumuddin, Peneliti pada Pusat Riset Oseanografi BRIN.

MHI ini bagi para peneliti membanggakan, sebab saat ini bahkan sudah digunakan oleh peneliti mangrove di sejumlah negara. “Di antaranya Filipina dan Bangladesh,” kata Wayan. MHI juga telah berhasil digambarkan dalam lingkup yang lebih luas melalui analisis penginderaan jauh.

Meskipun sudah mempunyai ukuran yang disepakati, urusan monitoring mangrove masih memiliki sejumlah tantangan. Salah satunya bagaimana agar kompilasi data lebih cepat dan mudah. Awalnya dilakukan dengan menggunakan format worksheet excel. “Di dalamnya sudah ada rumus-rumusnya, jadi teman surveyor di daerah tinggal input data. Hasilnya bisa otomatis keluar,” kata Wayan.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas