KPK Usut Modus Budhi Sarwono Tarik Fee dari Pengerjaan Proyek di Banjarnegara
KPK mengusut modus Bupati nonaktif Banjarnegara Budhi Sarwono menarik fee dari pengerjaan proyek di Pemerintah Kab Banjarnegara
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut modus Bupati nonaktif Banjarnegara Budhi Sarwono menarik fee dari pengerjaan proyek di Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Tim penyidik mengusut hal tersebut melalui empat saksi yang diperiksa pada Jumat (5/11/2021) di Kantor Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, D.I. Yogyakarta.
"Para saksi hadir, dan dikonfirmasi antara lain terkait dengan dugaan peran tersangka KA (Kedy Afandi) sebagai perpanjangan tangan tersangka BS (Budhi Sarwono) di Pemkab Banjarnegara untuk mengatur berbagai proyek pekerjaan disertai adanya penentuan besaran komitmen fee atas proyek tersebut," ujar Plt juru bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (8/11/2021).
Baca juga: Mangkir, KPK Ultimatum Anggota DPRD Banjarnegara
Baca juga: KPK Periksa 4 Saksi di Yogyakarta Terkait Kasus Korupsi Bupati Banjarnegara
Adapun saksi yang diperiksa antara lain Totok Setya Winata, PNS; serta tiga pihak yang disebut sebagai wiraswasta, yakni Triana Widodo, Hanif Ruseno, dan Lalu Panji Gusangan.
Harusnya tim penyidik turut memeriksa saksi bernama Wasis Jatmiko selaku kontraktor.
Namun, Ali mengatakan, Wasis Jatmiko tidak hadir alias mangkir dan akan dijadwalkan kembali pemanggilannya.
"Wasis Jatmiko (Kontraktor), yang bersangkutan tidak hadir dan segera dilakukan penjadwalan ulang kembali," katanya.
Baca juga: Kronologi Temuan 2 Pocong Mini saat Penggalian di Situs Watugenuk Boyolali, Diduga Perantara Santet
KPK menjerat Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono (BS) dan Kedy Afandi (KA) selaku pihak swasta sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pengadaan barang dan jasa di Pemkab Banjarnegara Tahun 2017-2018 dan penerimaan gratifikasi.
Dalam konstruksi perkara, KPK menyebut bahwa pada September 2017, Budhi memerintahkan Kedy yang juga orang kepercayaan dan pernah menjadi ketua tim sukses dari Budhi saat mengikuti proses pemilihan kepala daerah Kabupaten Banjarnegara untuk memimpin rapat koordinasi (rakor).
Rakor tersebut dihadiri oleh para perwakilan asosiasi jasa konstruksi di Kabupaten Banjarnegara yang bertempat di salah satu rumah makan.
Dalam pertemuan tersebut, disampaikan sebagaimana perintah dan arahan Budhi, Kedy menyampaikan bahwa paket proyek pekerjaan akan dilonggarkan dengan menaikkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) senilai 20 persen dari nilai proyek dan untuk perusahaan-perusahaan yang ingin mendapatkan paket proyek dimaksud diwajibkan memberikan komitmen fee sebesar 10 persen dari nilai proyek.
Pertemuan lanjutan kembali dilaksanakan di rumah pribadi Budhi yang dihadiri oleh beberapa perwakilan Asosiasi Gapensi Banjarnegara dan secara langsung Budhi menyampaikan di antaranya menaikkan HPS senilai 20 persen dari harga saat itu.
Dengan pembagian lanjutannya adalah senilai 10 persen untuk Budhi sebagai komitmen fee dan 10 persen sebagai keuntungan rekanan.
Selain itu, Budhi juga berperan aktif dengan ikut langsung dalam pelaksanaan pelelangan pekerjaan infrastruktur di antaranya membagi paket pekerjaan di Dinas PUPR Kabupaten Banjarnegara, mengikutsertakan perusahaan milik keluarganya, dan mengatur pemenang lelang.
Kedy juga selalu dipantau serta diarahkan oleh Budhi saat melakukan pengaturan pembagian paket pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan oleh perusahaan milik Budhi yang tergabung dalam grup Bumi Redjo.
Penerimaan komitmen fee senilai 10 persen oleh Budhi dilakukan secara langsung maupun melalui perantaraan Kedy.
Baca juga: Akun Twitter Polresta Bogor Kota Sukai Unggahan Porno, Twitter Satlantas Polresta Banyumas Diretas
KPK menduga Budhi telah menerima komitmen fee atas berbagai pekerjaan proyek infrastruktur di Kabupaten Banjarnegara sekitar Rp2,1 miliar.
Atas perbuatannya, Budhi dan Kedy disangkakan melanggar Pasal 12 huruf i dan atau Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.