Apa Itu Dugong? Jenis Mamalia Laut yang Populasinya Terus Menurun dan Terancam Punah
Mengenal apa itu Dugong atau Duyung, salah satu dari 35 jenis mamalia laut di Indonesia yang populasinya terus menurun dan terancam punah.
Penulis: Lanny Latifah
Editor: Nuryanti
TRIBUNNEWS.COM - Dugong (Dugong dugon) atau Duyung adalah salah satu dari 35 jenis mamalia laut di Indonesia.
Dugong merupakan satu-satunya satwa ordo Sirenia yang area tempat tinggalnya tidak terbatas pada perairan pesisir.
Namun sayangnya, jenis mamalia laut ini populasinya terus menurun dan terancam punah.
Dari 1,507 km2 luas padang Lamun (tumbuhan berbunga yang tumbuh membentuk padang rumput/padang lamun di dasar perairan pesisir yang dangkal) yang menjadi tempat bernaung habitat Dugong di Indonesia, hanya 5 persen yang tergolong sehat, 80 persen kurang sehat, dan 15 persen tidak sehat.
Baca juga: Mengenal Hewan Mamalia, Dilengkapi dengan Ciri-ciri Mamalia, Anatomi Tubuh, dan Contoh Mamalia
Baca juga: Peneliti Temukan Paus Pembunuh Jenis Baru, Memangsa Mamalia Besar
Apa Itu Dugong?
Melansir kkp.go.id, dugong memiliki nama ilmiah yaitu "Dugong dugon".
Dugong adalah bagian dari ordo Sirenia.
Semua anggota Sirenia adalah mamalia laut herbivor, dan telah beradaptasi dengan baik dengan lingkungan lautnya.
Ordo Sirenia terdiri atas dua family, yaitu Trichechidae dan Dugongidae.
Dugong adalah salah satu dari dua anggota family Dugongidae.
Dugong dikategorikan sebagai binatang nokturnal atau binatang malam, yang artinya hanya akan mencari makan ketika malam hari.
Dikutip dari wwf.id, dugong mampu menahan napas di dalam air sampai 12 menit, sambil mencari makan dan berenang.
Namun terkadang dugong juga berada dalam posisi seperti berdiri dengan kepala berada di atas air untuk bernapas.
Dugong berenang dengan kecepatan 10 km/jam hingga 22 km/jam.
Dugong ini berukuran besar, panjang tubuhnya bisa mencapai 3 meter dengan berat 450 kg.
Dugong betina cenderung sedikit lebih besar dari dugong jantan.
Kulit dugong tebal dan halus dengan warna pucat ketika masih bayi, menjelang dewasa dan bagian perut dengan warna yang lebih terang.
Selain itu, dugong juga berumur panjang, bisa hidup sampai 70 tahun.
Ia merupakan satu-satunya mamalia laut pemakan lamun, dan turut menyeimbangkan ekosistem lamun.
Moncongnya yang tebal berbentuk bagai tapal kuda, menghadap ke bawah dengan bibir tebal yang ditumbuhi bulu-bulu kasar bagai sikat.
Bulu-bulu kasar ini merupakan organ yang sangat sensitif yang digunakannya untuk mencari makan.
Dugong mempunyai sepasang sirip yang tebal dan bertulang bagai lengan dan jari-jari, yang dapat berfungsi sebagai dayung penyeimbang ketika berenang.
Saat dugong mencari makan di dasar laut, sirip tebalnya akan menopang tubuhnya untuk merayap.
Di ketiak kedua siripnya terdapat puting susu, karena dugong termasuk Class Mamalia yang mempunyai karakterisktik menyusui anaknya.
Baca juga: 5 Hewan Endemik Sulawesi yang Kini Terancam Punah, Anoa hingga Tarsius
Baca juga: Ciptakan Pemerataan, KKP Terapkan Konsep Penangkapan Ikan Terukur
Kemudian, lubang hidung dugong terdapat di bagian atas kepala dan mempunyai katup yang dapat menutup dengan kedap saat ia menyelam.
Saat dugong naik ke permukaan untuk menarik napas, hanya ujung lubang hidungnya yang akan muncul di permukaan.
Mata dugong berukuran kecil, dan saat di dalam air yang acapkali keruh, pandangannya sangat terbatas.
Dugong atau duyung ini dapat ditemukan di sepanjang cekungan Samudra Hindia dan Pasifik.
Dugong Terancam Punah
Melansir wwf.id, dugong masih diburu hidup-hidup dan dagingnya dikonsumsi, meskipun sudah dilindungi oleh Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan & Satwa.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dugong dikategorikan sebagai biota perairan yang dilindungi.
Hal ini dikarenakan dugong termasuk mamalia laut yang populasinya terus menurun dan terancam punah.
Walaupun dugong (duyung) sudah ditetapkan sebagai biota yang dilindungi di Indonesia, namun populasinya secara nasional diindikasikan terus mengalami penurunan dan apabila tidak dilakukan langkah-langkah penanganan maka dikhawatirkan dugong dapat mengalami kepunahan di Indonesia.
Beberapa penyebab buruknya kondisi Dugong yang sering ditemukan saat ini, yakni:
1. Perburuan skala lokal dan pemanfaatan langsung bagian tubuh Dugong;
2. Terjaring atau terperangkap di alattangkap (sero, keramba, dll) milik nelayan;
3. Tertabrak kapal wisata dan kapal nelayan;
4. Penangkapan untuk diperjualbelikan daging atau bagian tubuhnya seperti taring dan air matanya.
Diketahui, air mata dugong (duyung) masih dianggap sebagai bahan ritual klenik, padahal cairan tersebut hanya lendir pelembab mata yang keluar dari kelenjar air matanya ketika dugong sedang tidak berada di dalam air.
Sayangnya, penangkapan dugong oleh masyarakat masih sering terjadi sampai dengan saat ini di beberapa tempat akibat kurangnya kesadartahuan masyarakat bahwa dugong termasuk satwa liar yang dilindungi oleh Pemerintah.
Baca juga: Cara Mencegah agar Penyu tidak Punah, Ini 6 Jenis Penyu di Indonesia yang Harus Dilindungi
Upaya Konservasi Dugong
Dikutip dari kkp.go.id, sebagai upaya konservasi dugong di Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berkerjasama dengan LIPI, IPB dan WWF Indonesia mengadakan program Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP).
Program yang dilaksanakan sejak tahun 2016 ini mendapat dukungan dari lembaga internasional, yaitu United Nation Environment Programme-Conservation Migratory Species (UNEP-CMS) yang bekerja sama dengan Mohamed bin Zayed Species Conservation Fund (MbZ) dengan sumber pendanaan dari GEF.
DSCP Indonesia merupakan program berbasis masyarakat lokal dengan jangkauan global untuk meningkatkan efektivitas konservasi dugong dan ekosistem lamun.
Program DSCP ini menyasar pada 3 komponen, yaitu:
1. Memperkuat dan Mengimplementasikan Rencana Aksi Konservasi Nasional untuk Dugong dan Lamun;
2. Meningkatkan Kesadaran Nasional dan Penelitian tentang Dugong dan Lamun di Indonesia;
3. Pengelolaan dan konservasi dugong dan lamun berbasis masyarakat di Bintan, Kotawaringin Barat, Alor dan Tolitoli.
(Tribunnews.com/Latifah)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.