Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Arteria Dahlan Tuai Kritikan, Imbas Sebut Polisi, Hakim, dan Jaksa Tak Boleh Di-OTT

Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan menuai kritik dari eks pegawai KPK hingga ICW imbas berpendapat bahwa polisi, hakim dan jaksa tak boleh kena OTT

Penulis: Shella Latifa A
Editor: Pravitri Retno W
zoom-in Arteria Dahlan Tuai Kritikan, Imbas Sebut Polisi, Hakim, dan Jaksa Tak Boleh Di-OTT
Geraldi/mr
Anggota Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan. 

TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan, mendapat kritikan dari sejumlah pihak akibat pernyataannya.

Dalam pernyataannya, Arteria menyebut polisi, jaksa, dan hakim yang bertugas di Indonesia tidak seharusnya menjadi objek Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus dugaan korupsi.

Ia menilai aparat penegak hukum tersebut merupakan representasi simbol negara.

"Bukan karena kita pro-koruptor, karena mereka adalah simbol-simbol negara di bidang penegakan hukum," kata Arteria dalam diskusi bertajuk Hukuman Mati bagi Koruptor, Terimplementasikah? pada Kamis (18/11/2021).

Baca juga: KPK Limpahkan Berkas Perkara 2 Terdakwa Suap Pengadaan di Hulu Sungai Utara

Dikutip dari Kompas.com, Arteria Dahlan mengkonfirmasi pernyataannya.

Ia mengatakan alasan para penegak hukum tak boleh di-OTT lantaran mereka adalah simbol negara yang perlu dijaga marwah kehormatannya.

"Sebaiknya aparat penegak hukum, polisi, hakim, jaksa, KPK, itu tidak usah dilakukan instrumen OTT terhadap mereka."

Berita Rekomendasi

"Alasannya pertama mereka ini adalah simbolisasi negara di bidang penegakan hukum, mereka simbol-simbol, jadi marwah kehormatan harus dijaga," kata politisi PDI Perjuangan itu, Jumat (19/11/2021). 

Anggota Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan saat mengunjungi Mabes Polri, Senin (6/7/2020)
Anggota Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan saat mengunjungi Mabes Polri, Senin (6/7/2020) (Tribunnews.com/Igman Ibrahim)

Baca juga: Arteria Dahlan Sebut Jaksa, Polisi, dan Hakim Tak Boleh Kena OTT, Begini Respons Novel Baswedan

Menurut dia, OTT selama ini justru membuat gaduh dan menyebabkan rasa saling tidak percaya (distrust) antarlembaga.

Untuk itu, ia menyebut OTT hendaknya tidak dimaknai sebagai satu-satunya cara untuk melakukan penegakan hukum.

Kritik dari Eks Pegawai KPK hingga ICW

Akibat pernyataannya, Arteria pun dikritik sejumlah eks pegawai Komisi Pemberantan Korupsi (KPK)  hingga peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW).

Eks penyidik senior KPK, Novel Baswedan, heran dengan pernyataan yang dilontarkan Arteria.

Baca juga: PROFIL Bupati Banyumas Achmad Husein yang Viral karena Pernyataan Takut Kena OTT KPK

Kritikan itu disampaikan Novel saat membalas cuitan mantan penyelidik KPK, Aulia Postiera, yang menyebarluaskan pemberitaan berisi pandangan Arteria.

"Sekalian saja semua pejabat tidak boleh di-OTT agar terjaga harkat dan martabatnya."

"Mau korupsi atau rampok uang negara bebas. Kok bisa ya anggota DPR berpikir begitu? Belajar di mana," cuit Novel dalam akun Twitter @nazaqistsha, seperti dikutip Tribunnews.com pada Jumat (19/11/2021).

Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan usai memberikan keterangan ke Komnas HAM terkait dugaan pelanggaran HAM dalam proses alih status pegawai KPK ke Aparatur Sipil Negara (ASN) di kantor Komnas HAM Jakarta pada Jumat (28/5/2021).
Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan usai memberikan keterangan ke Komnas HAM terkait dugaan pelanggaran HAM dalam proses alih status pegawai KPK ke Aparatur Sipil Negara (ASN) di kantor Komnas HAM Jakarta pada Jumat (28/5/2021). (Foto: Tribunnews.com/Gita Irawan)

Aulia Poestria dalam cuitan Twitter-nya @paijodirajo, menilai pandangan Arteria tersebut ngawur. 

Baca juga: Pernyataannya Viral soal OTT KPK, Bupati Banyumas: Itu Tidak Lengkap

Hal itu, menurutnya, tak jauh berbeda dengan sejumlah pihak tertentu yang membangun fitnah bahwa ada Taliban di KPK.

"Argumentasi-argumentasi ngawur terkait OTT ini seperti sengaja dibangun seperti saat dulu mereka membangun fitnah bahwa ada Taliban di KPK yang berakibat adanya revisi UU KPK dan pemecatan pegawai dengan dalih TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) abal-abal."

"Semua pejabat takut terkena OTT karena ketika tertangkap enggak bisa berkelit lagi," tulis Aulia.

Baca juga: Kata ICW Soal Langkah Hukum Tommy Soeharto Terkait Asetnya yang akan Disita BLBI: Itu Itikad Buruk

Sementara itu, kritikan juga datang dari peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.

Kurnia menilai ada yang salah dengan pola pikir Arteria Dahlan.

"ICW melihat ada yang bengkok dalam logika berpikir Arteria Dahlan terkait dengan OTT aparat penegak hukum. Selain bengkok, pernyataan anggota DPR RI fraksi PDIP itu juga tidak disertai argumentasi yang kuat," kata Kurnia kepada Tribunnews.com, Jumat (19/11/2021).

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana saat ditemui di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Senin (9/12/2019).
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana saat ditemui di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Senin (9/12/2019). (Tribunnews.com/ Fransiskus Adhiyuda)
Pertama, Kurnia menyebut Arteria seolah-olah tidak memahami bahwa filosofi dasar penegakan hukum adalah equality before the law. 

"Ini mengartikan, siapa saja sama di muka hukum, sekali pun mereka adalah aparat penegak hukum," katanya.

Baca juga: Ditetapkan KPK Jadi Tersangka, Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid Punya Harta Senilai Rp 5 Miliar

Kedua, Arteria mengatakan OTT kerap kali menimbulkan kegaduhan.

Menurut Kurnia, pernyataan semacam itu sulit dipahami. 

"Sebab, kegaduhan itu timbul bukan karena penegak hukum melakukan OTT, melainkan faktor eksternal, misalnya tingkah laku dari tersangka atau kelompok tertentu yang berupaya mengganggu atau menghambat penegakan hukum," kata Kurnia.

Ketiga, Kurnia berpendapat Arteria harus lebih cermat membaca KUHAP. Sebab, Kurnia menjelaskan, tangkap tangan diatur secara rinci dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP dan legal untuk dilakukan oleh penegak hukum.

Baca juga: Ini Alasan KPK Baru Menetapkan Tersangka dan Tahan Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid

Keempat, Arteria mengatakan OTT cenderung dapat menimbulkan isu kriminalisasi dan politisisasi. Menurut Kurnia, ungkapan seperti itu bukan hal baru lagi. 

"Sebab, dari dulu banyak politisi menggunakan dalih tersebut tapi tidak bisa membuktikan apa yang mereka sampaikan," katanya.

Kelima, kata Kurnia, Arteria tidak memahami bahwa hal utama yang harus dijadikan fokus penindakan perkara korupsi adalah penegak hukum.

Baca juga: Respons Bupati Banyumas yang Ngeri Ditangkap, KPK: Tak Perlu Takut dengan OTT

Satu contoh konkret bisa merujuk pada sejarah pembentukan KPK Hongkong atau ICAC. 

Di sana, kata Kurnia, pemberantasan korupsi dimulai dari membersihkan aparat kepolisian dengan menindak oknum yang korup.

"Dengan begitu, maka penegakan hukum dapat terbebas dari praktik korupsi dan kepercayaan publik pun lambat laun akan kembali meningkat," katanya.

(Tribunnewss.com/Shella Latifa/Ilham Rian Pratama)(Kompas.com/Ardito)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas