MK Tolak Uji Materi UU Pemilu, Dalil Beban Kerja Tak Rasional Dinilai Cuma Masalah Manajemen
MK memutuskan menolak permohonan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dimohonkan oleh Akhid Kurniawan dkk
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dimohonkan oleh Akhid Kurniawan dkk.
Adapun perkara bernomor 16/PUU-XIX/2021 ini, menyoal norma UU pada Pasal 167 Ayat (3) sepanjang frasa 'pemungutan suara dilaksanakan secara serentak', dan Pasal 347 Ayat (1) UU 7/2017.
"Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Hakim Ketua Majelis Konstitusi, Anwar Usman membaca amar putusan, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (24/11/2021).
Baca juga: Komite I DPD RI Kembali Usulkan Revisi UU Pemilu Masuk Prolegnas Prioritas 2022
MK menilai dalil Pemohon soal lima kotak suara menyebabkan beban kerja petugas penyelenggara Pemilu ad hoc sangat berat, tidak rasional dan tidak manusiawi berkaitan dengan manajemen pelaksanaan Pemilu yang merupakan bagian dari implementasi norma.
Menurut MK, dalil yang dipermasalahkan Pemohon sangat berkaitan dengan teknis dan manajemen tata kelola yang menjadi faktor penting kesuksesan penyelenggaraan Pemilu Serentak.
"Menurut Mahkamah, beban kerja yang berat, tidak rasional dan tidak manusiawi sangat berkaitan dengan manajemen pemilihan umum yang merupakan bagian dari implementasi norma," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Baca juga: KPK Wanti-wanti Pemilu 2024 Jadi Ladang Korupsi
Bahkan MK memandang pembentuk UU dan penyelenggara Pemilu dengan struktur yang dimiliki saat ini, justru punya kesempatan mengevaluasi dan melakukan kajian berkala terhadap pelaksanaan teknis keserentakan Pemilu.
Evaluasi tersebut bisa berupa pembentuk UU dan penyelenggara Pemilu bisa menyepakati jeda waktu antara pemilihan anggota DPR RI, DPRD Kabupaten/Kota dengan pemilihan anggota DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden.
Atau desain teknis lain yang dapat mengurangi beban petugas penyelenggara Pemilu ad hoc.
"Misalnya pembentuk undang - undang dan penyelenggara pemilihan umum dapat saja menyepakati adanya jeda waktu antara pemilihan umum anggota DPR Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota dengan pemilihan umum DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden," kata Saldi.
"Atau desain teknis lainnya yang dapat mengurangi beban petugas penyelenggara pemilu ad hoc," pungkasnya.