RUU TPKS, Kepedulian DPR Dengar dan Respons Publik soal Isu Kekerasan Seksual
RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi salah satu bentuk kepedulian lembaga perwakilan rakyat untuk mewadahi aspirasi publik.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hasanudin Aco
“Jadi nggak ada tempat di mana mereka mencari keadilan. Maka RUU TPKS ini yang kita butuhkan,” sambung Willy.
Ranah kedua yang perlu diatur lewat RUU TPKS adalah soal memisahkan antara urusan publik dan urusan privat. Hal yang menjadi penting adalah bagaimana kebebasan seksual, penyimpangan seksual dan kekerasan seksual dapat diatur melalui regulasi.
“Memisahkan di mana res publica (urusan publik) dan res privata (urusan privat). Nah kita ingin atur res publica-nya. Hanya kebetulan objeknya seksulitas. Ini yang sering menjadi perdebatan di Panja,” terang Willy.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini mengatakan, poin-poin krusial pada RUU TPKS sebenarnya sudah disepakati. Willy merinci, poin-poin krusial itu meliputi judul undang-undang, sistematika, perlindungan kepada korban, hingga metodologi persidangan kasus kekerasan seksual.
“Metodologi persidangan apakah tertutup atau terbatas. Di Panja dipilih tertutup untuk melindungi korban. Dan yang paling utama adalah hukum acaranya, kalau di KUHP butuh 3 alat bukti. Di RUU TPKS, kesaksian korban sudah bisa jadi alat bukti. Jadi ini UU yang progresif terhadap keadilan,” paparnya.
“Tinggal political will untuk memplenokan dan dibawa ke Paripurna. Saya ingin sebelum masa sidang selesai 15 Desember bisa diplenokan, bahkan diparipurnakan sebagai RUU inisiatif DPR,” tambah Willy.
Dukungan terhadap RUU TPKS pun datang dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU. Beberapa penolakan terhadap RUU TPKS diketahui kerap datang dari kalangan agamis.
“Apapun agamanya, pasti melarang kekerasan seksual. Sebab kekerasan seksual jelas sekali pelanggaran hak-hak kemanusiaan dan penodaan kesucian. Juga berlawanan dengan hukum Tuhan. Maka semua agama menolak kekerasan seksual, tidak ada yang membolehkan,” ujar Sekretaris Lakpesdam PBNU, KH Marzuki Wahid.
Menurutnya, negara harus hadir memberikan perlindungan kepada korban-korban kekerasan seksual. Marzuki mengatakan RUU TPKS menjadi calon payung hukum yang melindungi dan memberikan jaminan pemulihan untuk korban.
“Saya tidak menemukan satu pasal pun dalam RUU TPKS yang melegalisasi zina atau LGBT. Karena RUU TPKS mengatur soal hukuman pelaku, melindungi korban dan pencegahan kekerasan seksual,” urainya.
Marzuli menilai, kekerasan seksual lebih jahat dari tindak korupsi. Oleh karenanya, RUU TPKS diperlukan untuk melindungi masyarakat.
“Korupsi kejahatan berat tapi kekerasan seksual lebih berat dari korupsi karena korban kekerasan seksual tidak bisa dipulihkan seperti kemuliannya, kehormatannya, belum lagi korban memiliki trauma. Kami atas nama agamawan mendukung RUU TPKS untuk segera disahkan,” tegas Marzuki.
Sementara itu Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen, Diah Pitaloka menyebut RUU TPKS identik dengan perempuan. Sebab 90% korban kekerasan yang terjadi di Indonesia datang dari kaum perempuan sehingga RUU TPKS dianggap sebagai dorongan moril dari DPR.
“Emansipasi adalah agenda substansi dari demokrasi. Narasi emansipasi ini tidak boleh surut, harus terus hidup dalam perjuangan di DPR. Dan emansipasi tidak otomatis kewajiban perempuan, karena emansipasi juga dimiliki oleh laki-laki sebagai bagian dari semangat demokrasi,” kata Diah.