Legislator NasDem: Penyidikan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Tidak Perlu Menunggu DPR
Sementara 9 kasus lainnya yang terjadi sebelum tahun 2000 menurut Mahfud menunggu keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hasanudin Aco
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan sebagai berikut: "Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR".
Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu.
Oleh karena itu, DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Harus dipahami bahwa kata ”dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagai akibat dapat ditafsirkannya kata ”dugaan” berbeda dengan mekanisme sebagaimana diuraikan di atas. Dengan demikian, sebagian permohonan Pemohon yang terkait dengan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata ”dugaan” beralasan.
"Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2007 tersebut, dalam hal DPR merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, DPR harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang berwenang untuk itu," ucap Taufik.
"Oleh karenanya, sebelum DPR mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, terlebih dahulu harus ada dasar penyidikan yang dilakukan, sehingga bukan DPR yang menduga sendiri terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat, melainkan proses pro yustisia-lah yang mendasari keputusannya," lanjutnya.
Lebih lanjut Taufik menjelaskan, kewenangan DPR yang diberikan UU adalah dalam hal mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu, bukan dalam hal menentukan apakah hasil penyelidikan Komnas HAM dapat ditingkatkan menjadi penyidikan atau tidak.
"Menindaklanjuti hasil penyidikan Komnas HAM menjadi penyidikan adalah kewenangan Jaksa Agung. Karena itu laksanakanlah kewenangan pro yustisia itu berdasarkan hukum," kata Taufik.
Taufik menegaskan dukungannya terhadap perintah Jaksa Agung kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) untuk menyusun langkah-langkah strategis dan membuat terobosan progresif untuk menuntaskan pelanggaran HAM.
Taufik juga mengingatkan bahwa sebelumnya Presiden memerintahkan agar komitmen penuntasan masalah HAM masa lalu harus terus dilanjutkan, dan Kejaksaan adalah aktor kunci dalam penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.
"Segera tuntaskan pelanggaran HAM masa lalu karena ini adalah hutang politik kita kepada bangsa ini, jangan sampai negeri yang kita cintai ini gagal memberikan keadilan bagi rakyatnya dan menjadi negara yang menjalankan praktek impunitas yakni membiarkan kejahatan tanpa adanya penegakan hukum dan keadilan," pungkas Taufik.