Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Refly Harun Kembali Serukan Gerakan Tolak Presidential Threshold, Ini Alasannya

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun kembali menyerukan untuk menolak presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden.

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Refly Harun Kembali Serukan Gerakan Tolak Presidential Threshold, Ini Alasannya
DPD RI
Ahli Hukum tata negara Refly Harun. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun kembali menyerukan untuk menolak presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden.

Refly mengatakan, presidential threshold justru merusak kontestasi pemilihan presiden (Pilpres).

"Kita harus selamatkan Indonesia dengan menolak presidential threshold atau jadikan presidential threshold 0," kata Refly Harun melalui siaran video yang ditayangkan dalam diskusi Aliansi Kekuatan Rakyat Berdaulat (AKRAB), yang dikutip, Kamis (2/12/2021).

Refly pun mendorong agar presidential threshold agar dihapus.

Menurutnya, presidential threshold membuat demokrasi dibajak para pemodal untuk memenangkan kontestasi Pilpres 2024.

Baca juga: Mahyudin Berharap Partai Golkar Bisa Kembali Menangkan Pileg dan Pilpres

"Karena presidential threshold hanya menjadikan demokrasi kriminal, demokrasi jual-beli perahu, demokrasi yang menggunakan kekuatan finansial untuk memenangkan kompetisi pemilihan presiden dan wakil presiden," ungkapnya.

Ia menjelaskan maksud dari pemilihan presiden secara langsung adalah pesta demokrasi rakyat dengan menghadirkan calon sebanyak-banyaknya.

Berita Rekomendasi

Sehingga, Refly menyebut setiap partai politik memiliki hak untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.

"Dan setiap partai politik yang menjadi peserta pemilu diberikan hak konstitusional untuk mengadukan pasangan presiden dan wakil presiden sesuai dengan ketentuan konstitusi UUD 1945," imbuhnya.

Sementara itu, anggota DPD Tamsil Linrung, mengatakan presidential threshold hanya memunggungi demokrasi.

Tamsil menyatakan keberadaan presidential threshold tidak bisa mewujudkan demokrasi yang ideal.

Tamsil juga mengatakan isi dari Pasal 6A UUD 1945, yaitu pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Baca juga: PDIP-Gerindra Kian Mesra, Prabowo dan Megawati Bertemu, Bagaimana Nasib Ganjar untuk Pilpres 2024?

Namun, ia mengatakan ada aturan terkait ambang batas pencalonan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Tamsil mengatakan pihaknya akan mengajukan judicial review terkait penghapusan presidential threshold pada Desember ini.

"Bulan Desember ini kami akan ajukan supaya kita menghapus presidential threshold," jelasnya.

Sebelumnya, Refly Harun mengatakan bahwa penerapan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, selama ini diterapkan secara tidak adil atau fair.

Hal itu disampaikannya dalam Executive Brief DPD RI, yang dihadiri oleh Wakil Ketua DPD RI Mahyudin, peneliti Senior LIPI Siti Zuhro, dan beberapa pimpinan alat kelengkapan DPD RI, Kamis (26/8/2021).

"Kalau kita bicara threshold, harusnya kita bicara hasil pemilu secara keseluruhan. Bukan hanya suara yang diperoleh Partai Politik pendukung. Tapi juga suara rakyat daerah yang memilih wakilnya di DPD," kata Refly.

Namun pada praktiknya, lanjut Refly, presidential threshold hanya diperhitungkan berdasarkan presentasi keterwakilan di DPR.

Seakan-akan calon presiden itu hanya menjadi jatah partai politik besar tanpa mempertimbangkan kemunculan calon berkualitas yang bisa muncul dari mana saja.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas