Pimpinan KPK Sebut Kades Tak Perlu Dipenjara, ICW: Menyederhanakan Permasalahan Korupsi
(ICW) memberi kritikan keras kepada Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata yang menyebut bahwa kepala desa yang ketahuan kor
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) memberi kritikan keras kepada Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata yang menyebut bahwa kepala desa yang ketahuan korupsi tidak perlu diproses ke pengadilan.
Atas pernyataan Alex itu, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menganggap pimpinan berlatar belakang hakim ad hoc ini tidak memahami Pasal 4 UU Tipikor yang menyebutkan bahwa mengembalikan kerugian negara tidak menghapus pidana seseorang.
"Untuk pernyataan Marwata sendiri, sepertinya komisioner KPK tersebut harus benar-benar serius ketika membaca UU Tipikor," kata Kurnia dalam keterangannya, Jumat (3/12/2021).
Selain itu, menurut Kurnia, praktik korupsi tidak bisa dinilai besar atau kecil hanya dengan mempertimbangkan jumlah uang semata.
Misalnya, dicontohkan Kurnia, korupsi yang nilainya cuma puluhan juta. Secara nominal, katanya, angka itu mungkin kecil.
Tapi, dia menggarisbawahi, beda cerita jika korupsi dilakukan terhadap sektor esensial yang berdampak pada hajat hidup masyarakat desa.
Baca juga: KPK Ingin Kepala Desa yang Korupsi Tak Perlu Diproses, Cukup Dipecat dan Kembalikan Uang
"Atau, korupsi dengan jumlah seperti itu, tapi melibatkan aparat penegak hukum, atau pejabat daerah setempat? Jadi, pendapat Marwata itu terlihat menyederhanakan permasalahan korupsi," kata Kurnia.
Jika yang dimaksud Alex ingin mendorong restorative justice, maka bagi ICW pendapat itu jelas keliru.
Kurnia menjelaskan, restorative justice tidak tepat dilakukan terhadap kejahatan kompleks seperti korupsi. Terlebih lagi, katanya, korupsi sudah dikategorikan sebagai extraordinary crime.
"Pernyataan Marwata itu akan berdampak cukup serius. Bukan tidak mungkin kepala desa yang korup akan semakin terpacu untuk melakukan praktik culas itu, toh, ketika ingin diusut penegak hukum, mereka dapat terbebas jerat hukum asal mengembalikan dananya sebagaimana usul Marwata," ujar Kurnia.
Kurnia juga mengingatkan Alex, bahwa dalam temuan ICW, anggaran dana desa merupakan sektor yang paling banyak terindikasi korupsi pada semester pertama tahun 2021 dengan jumlah 55 kasus dan total kerugian negara mencapai Rp35,7 miliar.
Tidak hanya itu, dari data ICW, kepala desa juga menempati peringkat ke tiga dari sisi latar belakang pelaku dengan jumlah 61 orang.
"Maka dari itu, korupsi yang dilakukan oleh kepala desa tidak bisa dianggap remeh seperti yang diutarakan oleh komisioner KPK," tutur Kurnia.
KPK Tak Ingin Kepala Desa Dipenjara
KPK sebelumnya menginginkan kepala desa yang ketahuan korupsi tidak sampai diproses ke pengadilan. Karena hal tersebut akan memakan biaya yang cukup besar.
Demikian disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata Peluncuran Desa Antikorupsi di Kampung Mataraman Panggungharko, Yogyakarta, yang dikutip melalui YouTube KPK RI, Rabu (1/12/2021).
Baca juga: MAKI Laporkan Pimpinan KPK Lili Pintauli ke Jampidsus Kejaksaan Agung
"Kalau ada kepala desa taruhlah betul terbukti ngambil duit tapi nilainya enggak seberapa, kalau diproses sampai ke pengadilan, biayanya lebih gede," ucap Alex.
Alex berpendapat bahwa kepala desa biasanya melakukan korupsi dengan nominal kecil. Biaya pengusutan kasusnya pun lebih besar ketimbang nominal uang yang diambil kepala desa.
"Artinya apa? Enggak efektif, enggak efisien, negara lebih banyak keluar duitnya dibandingkan apa yang nanti kita peroleh," kata Alex.
Dia meminta kepala desa dipaksa mengambilkan uangnya jika terbukti korupsi. Jika memungkinkan, kepala desa yang korupsi diminta dipecat.
Uang yang dikembalikan secara paksa itu harus masuk ke kas desa. Dengan begitu, masyarakat bakal kembali menikmati uang negara yang sudah dikorupsi oleh kepala desa.
"Ya sudah suruh kembalikan, ya kalau ada ketentuannya pecat kepala desanya. Selesai persoalan kan begitu," kata Alex.
Hingga kini, pemecatan kepala desa harus dilakukan atas perintah pengadilan. KPK ingin ada aturan baru yang bisa memecat kepala desa yang terbukti korupsi tanpa harus menunggu pengadilan.
"Mungkin dengan musyawarah masyarakat desa kan mereka yang milih. Kita sampaikan 'nih kepala desa mu nyolong nih, mau kita penjarakan atau kita berhentikan?' pastikan begitu selesai," ujar Alex.
Langkah itu diyakini lebih baik ketimbang memenjarakan kepala desa yang melakukan korupsi. KPK menilai penindakan kasus rasuah tidak melulu harus berakhir dengan pidana.
"Hal seperti itu kan juga membuat jera kepala desa yang lain. Tidak semata-mata upaya pemberantasan korupsi itu berakhir di pengadilan atau keberhasilan pemberantasan korupsi itu dengan ukuran berapa banyak orang kita penjarakan, enggak seperti itu," kata Alex.
Hukuman penjara dinilai terlalu kejam untuk kepala desa. Aparat penegak hukum diminta tidak terlalu galak.
"Hal-hal seperti itu barangkali bisa menjadi intervensi kita bersama, pemberantasan korupsi tetap menjadi keprihatinan kita semua. Ini menjadi PR kita bersama, dan desa antikorupsi ini tidak semata-mata menyangkut aparat desanya tetapi juga masyarakatnya," tutur Alex.