Pandangan Geopolitik Soekarno Membangun Perdamaian Dunia, Berbasis Prinsip Menolak Penjajahan
pandangan geopolitik Soekarno yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, mengambil jalan berbeda dengan pandangan geopolitik Amerika Serikat (AS) dan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, Jakarta - Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menjelaskan pandangan geopolitik Soekarno yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, mengambil jalan berbeda dengan pandangan geopolitik Amerika Serikat (AS) dan Eropa, serta Blok Komunisme-Leninisme.
"Saya menyampaikan ini sesuai pesan Ibu Megawati Soekarnoputri, saat pelantikan Dewan Perwakilan Luar Negeri Partai (DPLN) PDI Perjuangan, harus diceritakan pandangan geopolitik Soekarno," kata Hasto Kristiyanto pada pelantikan DPLN PDIP, yang dilanjutkan pendidikan kader pratama, Sabtu (4/12/2021).
Hasto memulai dengan menceritakan sejarah PDIP yang dimulai dengan pembentukan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927.
Tanggal 4 Juli dipilih untuk mengambil semangat perjuangan AS melepaskan diri dari kolonialisme Inggris. Soekarno menyatakan bahwa PNI adalah wadah pengorganisasian rakyat untuk melepaskan diri dari penjajahan.
Pada tahun 1956, Bung Karno ke AS dan bertemu Presiden Eisenhower dan menyampaikan mengenai makna dibalik pendirian PNI pada 4 Juli.
Dalam kunjungan itu, Bung Karno juga menyebut AS sebagai negara ide, perpaduan revolusioner antara Jefferson, Lincoln, dan Thomas Alfa Edison.
Baca juga: Megawati Resmikan Kantor Partai dan Taman UMKM Bung Karno
Tapi disitu juga Soekarno menyampaikan prinsip soal pandangan geopolitik Indonesia berbasis pembangunan persaudaraan dunia, memperjuangkan prinsip ko-eksistensi damai, dan hal tersebut berbeda dengan pandangan geopolitik Barat, AS dan Eropa.
Kalau AS dan Eropa mengutamakan sea power atau harus menguasai lautan. Kalau Jerman dengan pandangan harus menjamin survivalnya dengan harus menguasai ruang hidup (lebensraum) yang akhirnya memicu perang dunia kedua.
Bung Karno, kata Hasto, memahami ini. Lalu menegaskan Indonesia memiliki Pancasila yang merupakan sintesa berbagai pemikiran Barat dan Timur, serta pemikiran asli Nusantara.
"Sehingga Bung Karno memahami bahwa penjajahan hanya menciptakan ketidakadilan dan penderitaan, yang digerakkan oleh kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Kesemuanya bertujuan untuk memerebutkan sumber bahan baku atau pasar bagi kepentingan perekonomian negara maju," ulasnya.
Terbukti, terjadilah ekspansi memperebutkan bahan baku untuk kepentingan industri di Eropa. Mereka juga mencari pasar produknya. Inggris menjadikan India bagi perluasan pasar industrinya. Belanda menguasai Indonesia untuk kepentingan kekuasaan sumber daya alam.
"Soekarno melihat realitas penjajahan yang menyengsarakan ini. Maka beliau membangun PNI untuk mendidik dan mengorganisir rakyat. Atas dasar hal tsb DPLN juga punya tanggung jawab untuk mengorganisir WNI di luar negeri dan bersama-sama menjalankan fungsi rekrutmen, pendidikan politik, serta bertindak sebagai mata dan telinga Partai di luar negeri," kata Hasto.
Semangat Bung Karno untuk membangun tata dunia baru yang bebas dari penjajahan dan menggelorakan kepemimpinan Indonesia bagi dunia harus menjadi spirit DPLN Partai.
"Politik luar negeri bebas aktif itu tidak ekspansionis. Ia berpihak pada perdamaian dunia. Pasca perang dunia II, ada konsolidasi kekuatan blok dunia atas dasar Komunisme-Leninisme dipimpin Soviet, dan kapitalisme-liberalisme oleh AS. Terjadilah perang dingin. Semua berebut pengaruh. Fenomena inilah yang kini nampak terjadi di Laut Cina Selatan”, urai Hasto lagi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.