Yahya Cholil Staquf: Percayalah Saya Tak Mencalonkan Jadi Presiden
Pernyataannya merujuk peristiwa ketika dirinya masih menjadi juru bicara Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Katim Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mengatakan tak berminat mencalonkan diri maju sebagai calon presiden RI pada perhelatan pemilu presiden 2024. Bahkan dia menegaskan tetap tak akan mau meski dicalonkan oleh sejumlah partai politik.
"Menurut saya ini mutlak, saya pribadi tidak akan mencalonkan diri (jadi presiden) atau bersedia dicalonkan juga, tidak mau maju," ujar Gus Yahya, sapaan akrabnya, ketika wawancara khusus dengan Wakil Direktur Pemberitaan Tribunnetwork Domu Ambarita, Sabtu (4/12).
Bukan tanpa sebab penolakan pria yang pernah menjabat Dewan Pertimbangan Presiden periode 2014-2019 itu. Dengan bercanda, Gus Yahya mengatakan dia sudah pernah menjadi presiden dan rasanya tidaklah enak.
Baca juga: Yahya Cholil Staquf: Saya Memang Menawarkan Diri Untuk Dipilih Jadi Ketua Umum PBNU
Pernyataannya merujuk peristiwa ketika dirinya masih menjadi juru bicara Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Kala itu Gus Dur yang kelelahan mengikuti konferensi OKI di Doha, Qatar, secara tiba-tiba meminta Gus Yahya menggantikan dirinya. Padahal, seluruh delegasi dalam konferensi itu hanya diikuti oleh dua orang yakni presiden dan menteri luar negerinya.
"Waktu hari terakhir, sesudah sesi terakhir yang selesai sekitar jam 10 malam, Presiden keluar dengan menteri luar negeri dan disambut oleh para staf, termasuk saya ikut menggerombol di situ. Tiba-tiba Gus Dur bilang saya capek sekali, saya sudah nggak kuat, saya mau istirahat saja.
Baca juga: Segera Gelar Rapat Bahas Jadwal Muktamar NU, Said Aqil Bersurat ke Rais Aam PBNU
Terus diingatkan bahwa ini cuma break sebentar, sesudah ini ada acara penutupan. Nggak, nggak saya sudah nggak kuat, mau tidur, tiba-tiba Gus Dur bilang itu. Biar Yahya saja yang masuk nanti, beliau bilang begitu," ucapnya.
Keadaan bertambah runyam ketika itu bagi Gus Yahya, karena dia harus duduk di kursi yang disediakan bagi presiden RI. Bahkan saat juru kamera acara menyorot setiap delegasi yang hadir, juru kamera itu menyorot Gus Yahya secara khusus.
Wajah Gus Yahya disorot hingga memenuhi layar dan kemudian juru kamera menyorot name tag dibawahnya yang bertuliskan President of Republic Indonesia.
"Kamera itu tadinya shoot memutar dari jauh ke delegasi satu per satu. Lewatin saya, tapi lewatin saya sedikit, balik lagi dia. Tadinya kan longshot, terus di zoom in akhirnya saya di close up sebesar tembok itu muka saya. Saya kan terus bagaimana rasanya itu," katanya.
"Saya mau senyum malah kayak meringis, saya mau kelihatan serius malah kayak cemberut, jadi nggak karu-karuan saya. Habis itu gambar kameranya turun menyorot name tag di depan saya, yang bertuliskan President of Republic Indonesia. Jadi sudah pernah saya (jadi presiden) dan serius nggak enak," ucapnya diikuti gelak tawa.
Baca juga: Saat Cak Imin Candai JK Soal Calon Ketua Umum PBNU
Berikut petikan wawancara khusus Tribunnetwork dengan Gus Yahya :
Di era milenials anak muda yang sudah banyak di media sosial, mudah berkomunikasi. Apakah ormas seperti NU masih perlu?
Organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan sebagainya, ini berfungsi dan menurut saya bertanggungjawab untuk menyediakan track perkembangan ini supaya antara masa lalu dan masa depan ini ada kesinambungan yang utuh. Artinya ini bukan hanya soal bagaimana mengelola eksekusi kegiatan-kegiatan, tapi konten kegiatan itu sendiri.
Nah kalo sekarang dikatakan bahwa ada banyak media-media baru, ada media digital yang semakin mendominasi, itu adalah media, adalah teknik baru di dalam mengeksekusi kegiatan, tapi kontennya, kontennya ini yang tetapi dibutuhkan dari panduan atau katakanlah inspirasi paling tidak dari organisasi-organisasi masyarakat yang diluar ini yang mereka ini yang menyambungkan masyarakat kita ini dari masa lalu ke masa depan.
Apa nanti yang akan dibahas oleh NU di dalam muktamar nanti?
Ada banyak hal, karena sekarang kita mendapatkan banyak, kreasi-kreasi baru, di dalam masyarakat ini, dalam ekonomi misalnya ada moda-moda keuangan baru yaitu uang Krypto.
Itu membutuhkan respon, karena Nahdlatul Ulama ini bukan hanya organisasi masyarakat biasa tetapi organisasi keagamaan. Yang memang bertugas dan tanggung jawab memberikan bimbingan keagamaan.
Sehingga perlu memberikan kepada masyarakat perspektif keagamaan dari Nahdlatul Ulama, tetapi Nahdlatul Ulama ini organisasinya ulama ini, orang-orang yang bertanggung jawab dalam, terhadap wacana keagamaan. Bagaimana perspektif dari keagamaan dari Nahdlatul ulama memenuhi hal-hal baru seperti keuangan crypto itu nanti akan menjadi salah satu bahasan. Nah di samping itu ada hal yang lebih mendasar yang terkait dengan persoalan-persoalan fundamental dihadapkan dinamika realitas baru, seperti sekarang soal tanah.
Walaupun NU bukan parpol, perkembangannya pemilu 99 waktu Pilpres lewat MPR. Gus Dur masih ketua PBNU saat itu, kemudian 2004 Ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi capres bu Megawati. Lalu kemudian 2019 Rais Aam PBNU jadi cawapres. Artinya NU masih belum lepas dari urusan politik?
Itu dia ini karena konstruksi organisasi, itu bagiannya, harus kita akui kenyataannya memang secara mental sebagian besar aktivis NU masih punya orientasi ke sana (politik) walaupun dalam soal Gus Dur sebenarnya ini sangat unik situasinya.
Tapi kemudian dalam situasi normal ternyata masih juga ada orientasi ikut dalam berkompetisi dalam politik. Ini menurut saya perlu diadress dikelola lebih lanjut supaya ada transformasi yang terarah menuju kembalinya NU sebagai organisasi keagamaan dan organisasi sosial kemasyarakatan.
Maka sejak awal saya nyatakan bahwa saya sama sekali tidak mau menjadi calon presiden atau cawapres di 2024, dan saya tidak ingin ada capres cawapres dari PBNU nantinya. Itu bagian dari upaya ini supaya bertransformasi betul supaya warga NU siap mental dan harus ke situ lagi.
Andai nanti Gus Yahya terpilih, apakah masih akan tertarik di politik? 2024 adalah tahun politik, Pilpres, pileg, pilkada.
Menurut saya ini mutlak, saya pribadi tidak akan mencalonkan diri atau bersedia dicalonkan juga, tidak mau maju.
Kenapa? Kan enak?
Oh saya sudah pernah dan nggak enak. Serius saya sudah sampaikan di sejumlah media saya sudah pernah menjadi presiden RI. Pernah, serius, dan nggak enak.
Jadi sewaktu saya ikut Gus Dur sebagai juru bicara dalam konferensi OKI di Doha, Qatar, waktu itu sebetulnya saya nggak ada kerjaan. Beberapa hari cuma keluyuran saja di lobi, ketemu orang sana sini ngobrol.
Sementara yang boleh masuk mengikuti hanya boleh presiden dan menteri luar negeri. Jadi saya hanya berkeliaran saja di sekitar venue.
Waktu hari terakhir, sesudah sesi terakhir yang selesai sekitar jam 10 malam. Presiden keluar dengan menteri luar negeri dan disambut oleh para staf, termasuk saya ikut menggerombol di situ. Tiba-tiba Gus Dur bilang saya capek sekali. Saya sudah nggak kuat, saya mau istirahat saja.
Terus diingatkan bahwa ini cuma break sebentar, sesudah ini ada acara penutupan. Nggak, nggak saya sudah nggak kuat, mau tidur. Tiba-tiba Gus Dur bilang itu biar Yahya saja yang masuk nanti, beliau bilang begitu.
Ya orang kaget semua, biarin Yahya saja yang masuk kayak ini kondangan saja. Orang kaget nggak bisa ngomong dan saya juga diam. Kemudian orang merasa nggak ada pilihan lain selain patuh.
Akhirnya saya masuk dengan menteri luar negeri Pak Alwi Sihab. Sampai disana itu setiap delegasi negara hanya disediakan dua kursi, untuk presiden dan menteri luar negeri. Saya sampai disana bingung.
Lho ini saya duduk dimana pak? Disitu kata pak Alwi kan. Wah ini kursinya presiden, saya nggak berani, tukeran saja pak. Pak Alwi bilang nggak bisa, saya menlu saya harus duduk di kursi saya. Lha terus saya gimana? Ya perintah presiden kamu duduk disitu. Akhirnya saya duduklah di kursi presiden.
Di belakang podium itu ada dinding besar yang dijadikan layar live itu. Kamera itu tadinya shoot memutar dari jauh ke delegasi satu per satu. Lewatin saya, tapi lewatin saya sedikit balik lagi dia. Tadinya kan longshot, terus di zoom in akhirnya saya di close up sebesar tembok itu muka saya.
Saya kan terus bagaimana rasanya itu. Saya mau senyum malah kayak meringis, saya mau kelihatan serius malah kayak cemberut, jadi nggak karu-karuan saya. Habis itu gambar kameranya turun menyorot name tag di depan saya, yang bertuliskan President of Republic Indonesia. Jadi sudah pernah saya dan serius nggak enak. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)