Polarisasi Partai Politik di Muktamar NU Tak Terbendung, PKB Masih Wait and See
Para kyai sepuh, khususnya calon-calon terkuat yang akan maju, mereka bukanlah politisi ulung.
Editor: Husein Sanusi
![Polarisasi Partai Politik di Muktamar NU Tak Terbendung, PKB Masih Wait and See](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/kh-imam-j.jpg)
Polarisasi Partai Politik di Muktamar NU Tak Terbendung, PKB Masih Wait and See
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Polarisasi Nahdliyyin jelang Muktamar NU ke-34 betul-betul tidak dapat dipungkiri. Atmosfer penuh sensitif semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kekhawatiran sebagian warga tentang runtuhnya marwah organisasi dan citra kyai sulit dihindari lagi. Jika ditelusuri lebih jauh, tampaknya biang keladi semua kekisruhan ini adalah permainan tangan-tangan elit politisi namun berafiliasi kepada partai politik.
Bila hendak dipetakan secara spesifik, setidaknya ada dua tokoh sentral yang belakangan mewarnai media massa. Pertama, figur Drs. H. Saifullah Yusuf atau Gus Ipul. Tokoh ini paling banyak memancing kontroversi melalui berbagai statemennya. Terlepas dari apa konten pembicaraan yang Gus Ipul angkat, latarbelakang politik yang menopang dia adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Gus Ipul adalah politisi senior, yang suka berloncatan, dari PDIP ke PKB dan terakhir berlabuh di PPP.
Kedua, figur muda Nusron Wahid. Tampaknya tokoh yang satu ini adalah tokoh intelektual yang menggawangi pemenangan calon ketua umum tertentu. Walaupun sorotan media mainstream tidak begitu banyak mengekspos gerak langkah gus Nusron, tetapi tangan dinginnya sangat penting dipertimbangkan. Latarbelakang politik gus Nusron adalah Golkar. Bisa dibilang juga, Gus Nusron adalah salah satu kader terbaik NU yang secara kapasitas lebih layak menjadi Calon Ketum PBNU ketimbang sekedar tim sukses.
Masalahnya adalah Gus Muhaimin Iskandar (cak Imin), Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), memilih sikap "wait and see", seakan-akan sedang mengulur waktu dan menghitung kekuatan lawan, sebelum memutuskan langkah untuk melawan. Pilihan sikap untuk "wait and see" tentu saja adalah preferensi personal Cak Imin. Namun, sikap semacam itu sama saja membiarkan tubuh NU terus-menerus digerogoti oleh kader-kader parpol yang tidak dilahirkan oleh NU.
Para kyai sepuh, khususnya calon-calon terkuat yang akan maju, mereka bukanlah politisi ulung. Nama-nama yang muncul ke publik, dan yang diyakini bertarung face-à-face di Muktamar NU, tidak memiliki latarbelakang politik yang handal. Bagaimana pun, para kyai sepuh ini bagaikan "bidak-bidak" di atas papan catur. Mereka hanya bermodalkan karisma, intelektualitas, dan integritas personal. Berbeda jauh bila dibandingkan dengan tiga figur yang menjadi dalang utama.
Sebelum terlalu jauh bicara, perlu ditekankan lebih awal di sini bahwa Muktamar NU ini bukan ajang persaingan para figur besar kyai, melaikan sepenuhnya akan menjadi ajang permainan tiga tokoh dengan tiga latar belakang parpol (PPP, PKB, Golkar) berbeda. Belum lagi kalau melihat lebih jauh latar belakang Gus Ipul, yang sempat mesra dengan PDIP. Tentu Muktamar NU adalah persaingan empat partai. Dalam konteks ini, figur-figur karismatik yang akan maju ke pentas persaingan kekuasaan betul-betul tidak punya visi politik apapun, mereka sepenuhnya adalah wayang yang dimainkan para dalang.
Prinsip "wait and see" dari PKB, yang notabene parpol kelahiran NU, adalah prinsip politik yang tidak tepat. Cak Imin dan seluruh kader PKB tidak dapat membiarkan Gus Nusron dan Gus Ipul terlalu percaya diri dan melangkah lebih jauh. Dampaknya sudah sangat kentara hari ini. Polarisasi tidak terhindarkan. Citra kyai dan marwah organisasi dipertaruhkan. Tanggung jawab PKB sebagai anak kandung NU harus menyelamatkan "orangtuanya" dari gerogotan oknum politikus.
Calon "alternatif" mungkin bisa dipertimbangkan. Kehadiran calon lain yang bisa diterima semua pihak dapat dicoba. Tetapi, "wait and see" tetap bukan prinsip yang tepat, karena waktu jelang Muktamar NU sudah begitu dekat. Mencari figur ketiga tidak mudah, karena konfrontasi yang terbangun hingga sekarang sudah tampak mencapai level didih. Ada kesan kengototan dari masing-masing kubu untuk terus berjuang memenangkan jagoan masing-masing hingga meraih puncak kekuasaan di tubuh NU.
Ambisi kekuasaan semacam itu di atas betul-betul tidak bisa dipahami sebagai ambisi seorang kyai sepuh. Tetapi murni ambisi anak muda politisi yang memiliki jiwa muda dan menggebu-gebu. Betul opini publik yang mengatakan bahwa NU bukan partai politik di mana pucuk kekuasaannya harus diperjuangkan mati-matian. Tetapi, opini publik semacam itu tidak sadar bahwa para dalang di balik permainan dan polarisasi semacam ini adalah para politikus yang ulung di dunia politik. Mengubah citra NU sebagai ormas menjadi parpol adalah perkara mudah saja.
Permainan Gus Nusron dan Gus Ipul tidak dapat dihentikan kecuali oleh sesama politisi ulung, yang sama-sama muda, sama-sama memiliki stamina kuat, seperti Cak Imin. PKB di bawah komando Cak Imin bertanggung jawab untuk menjaga marwah organisasi, dan mengembalikan Kyai sepuh ke independensi, bukan dibiarkan terseret arus permainan super canggih elite muda politisi ulung.
Jika PKB dan Cak Imin belum mampu menemukan calon alternatif dalam waktu yang sangat singkat di tengah polarisasi yang menajam, maka ada langkah lain yang mungkin bisa ditempuh. Yaitu, komunikasi dan transaksi. PKB dan Cak Imin bisa menjalin komunikasi yang baik dengan Gus Nusron dan Gus Ipul, atas nama sebagai kader-kader muda NU. Goal utama komunikasi tersebut adalah mengembalikan marwah organisasi yang hilang dan meminimalisir persepsi publik yang mulai merosot dalam memandang keagungan citra kyai sepuh.
Tampaknya, cara kedua ini sangat sulit. Cak Imin dari PKB, Gus Nusron dari Golkar dan Gus Ipul dari PPP tidak mungkin berjalan dalam satu gerbong. Karena bagaimanapun, kemenangan masing-masing orang dalam memenangkan jagoan masing-masing adalah kredit poin di mata parpol mereka. Bahkan, akan menjadi modal besar untuk menyambut Pilpres 2024 nanti. Jadi, satu-satunya kemungkinan yang bisa dilakukan adalah menemukan figur alternatif di luar dua figur yang paling kuat hari ini.
Pencairan figur alternatif dapat diartikan sebagai perlawanan PKB dan Cak Imin atas Gus Nusron dan Gus Ipul yang membuat tensi NU Mendidih. Tetapi sebaliknya, bila PKB mampu menghadirkan figur alternatif ini dan mampu mengakhiri polarisasi maka itu bisa dibilang sebagai bentuk pengabdian seorang "anak" kepada "orangtuanya"; pengabdian PKB kepada NU. Artinya, chaos yang disebabkan oleh perilaku politik harus diakhiri juga oleh tangan-tangan politik. Kerusakan citra organisasi dan kyai oleh permainan politik, harus diselesaikan dan dituntaskan oleh kekuatan politik yang sama.
Untuk itulah, penentuan tanggal pelaksanaan Muktamar bukan lagi persoalan utama. Kapan saja Muktamar dilakukan, baik dimajukan atau diundur, tetap saja hal paling penting adalah kehadiran figur alternatif yang mampu mengakomodir berbagai kepentingan politik pendukung masing-masing. Sebab, nyaris sangat sulit hari-hari belakangan ini untuk mencari alasan bahwa para Kyai sepuh kita tidak punya ambisi merebut kekuasaan. Mereka dituntut oleh atmosfer yang ada untuk meraih kemenangan apapun caranya. Bahkan sekalipun harus mengorbankan prosedur formal keorganisasian. Intinya, "wait and see" tidak akan menyelesaikan polarisasi. Perlu langkah cepat menemukan figur alternatif. Wallahu a'lam bis shawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.