Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

PWNU Jatim: Gudang Kyai dan Figur Alternatif, Kenapa Tidak Percaya Diri?

Penulis paham dan tahu bahwa Jawa Timur adalah tanah yang begitu bertuah. Semua keputusan ulama Jawa Timur akan mengubah konstelasi politik.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in PWNU Jatim: Gudang Kyai dan Figur Alternatif, Kenapa Tidak Percaya Diri?
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. 

PWNU Jatim: Gudang Kyai dan Figur Alternatif, Kenapa Tidak Percaya Diri?

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*

TRIBUNNEWS.COM - Dinamika Muktamar NU, yang semula menimbulkan polarisasi terkait waktu pelaksaan, akhirnya berakhir. Pelaksanaan Muktamar kembali lagi ke rencana awal. Namun, akar polarisasi betul-betul belum berakhir. Ini akan menjadi bom waktu yang akan meledak nanti di Lampung. Ini betul-betul sebentuk gegeran politik yang luar biasa.

Hidup di dunia tidak akan betul-betul sedamai akhirat nanti. Setelah satu perkara tuntas, perkara lain datang lagi. Ini juga bagian dari hakikat hidup. Polarisasi akibat jadwal muktamar memang sebuah topik yang sudah tamat. Tetapi polarisasi dukungan dua kubu yang kadung mencolok selama ini betul tamat. Untuk itulah, diskusi panjang tentang bagaimana cara mengatasi polarisasi tersebut masih terbuka untuk dibicarakan. Tentu saja, premis dasarnya berupa bahwa persatuan dan kesatuan dalam keragaman adalah keniscayaan.

Kalau mau mengamati asal muasal terciptanya polarisasi ini lebih jauh, sebenarnya semua kita bisa mengambil inisiatif untuk membahas permainan PWNU Jawa Timur. Sejak adanya gerakan elit NU Jawa Timur, hari-hari selanjutnya dipenuhi oleh perbincangan. Hal yang paling unik sebenarnya adalah kontens gagasan Jawa Timur yang tiba-tiba melontarkan gagasan untuk mengusung satu paket pasangan calon. Siapa jadi Ketua Umum dan siapa jadi Rois Amm sudah diputuskan. Keputusan tersebut berlanjut, dengan sebuah seruan agar Muktamar diselenggarakan tahun 2021, dengan alasan karena sudah tertunda cukup lama sejak 2020.

Penulis paham dan tahu bahwa Jawa Timur adalah tanah yang begitu bertuah. Semua keputusan ulama Jawa Timur akan mengubah konstelasi politik nasional. Itu lazim. Sejarah membuktikan, Jawa Timur terbangun dengan peradaban yang sangat tinggi, dan itu sangat menentukan bagi kelahiran cendikiawan-cendikiawan luar biasa yang semuanya kelahiran Jawa Timur, termasuk jumlah kyai-kyai NU Jawa Timur yang begitu banyak.

Dalam hubungannya dengan NU, Jawa Timur adalah bumi kelahiran NU itu sendiri. Para pendiri NU adalah waliyullah dan ulama agung Jawa Timur. Dengan kata lain, sesungguhnya Jawa Timur tidak kekurangan figur besar yang layak memimpin NU. Misalnya, asalkan memang diberi ruang untuk membuktikan diri mereka, untuk posisi Calon Ketua Umum, di sana ada kyai-kyai besar seperti Hasan Mutawakkil Alallah, Asep Saifuddin Chalim, Marzuqi Mustamar, dan lainnya.

Berita Rekomendasi

Peran tokoh-tokoh besar seperti kyai Marzuki Mustamar, Asep Saifuddin Chalim, dan Hasan Mutawakkil Alallah, bukan figur sembarangan. Misalnya, kyai Marzuqi Mustamar, M.Ag., bukan hanya Pimpinan Pondok Pesantren Sabiilul Rosyad, Gasek, Malang, tetapi juga menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur periode 2018-2023.

Atau, Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, M.A., bukan semata Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto, melainkan juga berhasil mendirikan sebanyak 34 PW Pergunu dan 514 cabangnya. Atau juga, KH. Moh. Ini prestasi yang luar biasa.

Belum lagi kita bicara profil Hasan Mutawakkil 'Alallah, S.H., M.M, bukan saja Ketua PWNU Jawa Timur, melainkan juga seorang pengusaha, tokoh pendakwah sekaligus kholifah ke empat dari pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Pemimpin NU yang berjiwa pengusaha sangat penting di masa depan, di era globalisasi dan pasar bebas.

Tiga tokoh di atas penting didukung untuk maju sebagai jalan solutif untuk memunculkan figur alternatif, setidaknya untuk mengeliminasi polarisasi, yang potensial jadi bom waktu, yang akan meledak di Muktamar. Karenanya, ada baiknya polarisasi semacam ini betul-betul dihapus ke akar-akarnya. Dalam beberapa hari ke depan, masih ada waktu yang cukup untuk menemukan nama-nama alternatif di luar nama-nama tokoh yang kadung muncul ke publik. NU Jawa Timur sangat kaya akan potensi, dan menemukan nama alternatif mungkin tidak sulit.

Poin pentingnya adalah bahwa mencoba nama-nama ini sebagai calon-calon alternatif tidak ada salahnya. Belum lagi kita bicara gus-gus muda yang sangat berlimpah, Gus Reza, Gus Kautsar, Gus Fahrur Rozi dan Gus Awis hanya sekian dari puluhan nama "Gus Milenial Jatim" yang layak mencalonkan diri Menjadi Ketum PBNU, Jawa Timur adalah gudang besar sekaligus mesin canggih pencetak Gus dan Kyai yang berlimpah. Mereka semua dapat menjadi figur-figur alternatif. Tentu premis dasarnya, siapapun yang mampu menghapus polarisasi dalam internal NU maka dia adalah pilihan yang tepat.

Hari ini adalah momentum bagi NU Jawa Timur untuk percaya diri, dan memang layak percaya diri, untuk maju memimpin NU, dengan mengusung kader-kader terbaiknya sendiri. Terutama untuk mengisi posisi sebagai Ketua Umum, mengingat posisi Rois Amm berada di luar nalar logis, karena mekanisme penentuannya adalah penunjukan oleh AHWA, bukan voting. Percaya diri mengusung tokoh yang mampu menghapus polarisasi adalah kebutuhan mendesak.

Polarisasi yang dibiarkan berlarut-larut sangat berbahaya. Belakangan muncul lagi keresahan politik yang dialami oleh ketua-ketua PCNU Jawa Timur, terkait AHWA. Mereka merasa diancam dan dipaksa untuk memberikan usulan tentang siapa saja yang layak jadi anggota AHWA. Penulis tidak terkejut. Konflik demi konflik, keganjilan demi keganjilan, akan terus bermunculan, karena figur alternatif yang jadi dambaan semua pihak belum dimunculkan. Akar masalah ada pada kekosongan figur alternatif.

Padahal, upaya menemukan, memilih dan memilah mana potensi ulama Jawa Timur yang mampu mengayomi semua kepentingan adalah sangat mudah bagi PWNU Jatim. Karena mau tidak mau, Jawa Timur kaya akan potensi kyai-kyai yang moderat maka pencarian calon alternatif tampaknya bukan perkara sulit. Tetapi sebaliknya, bila calon alternatif ini belum pula ditemukan sampai Muktamar diselenggarakan, dan paska Muktamar nanti Nahdliyyin terpecah belah, maka tentu publik sudah tahu siapa biang keladi perpecahan tersebut.

Perpecahan di internal NU sungguh tidak diharapkan, karena nama organisasi ini terlanjur memiliki citra kuat sebagai organisasi pengusung ide harmoni umat beragama. Jika dirinya sendiri tidak mampu menunjukkan keharmonisan tersebut, maka apa jadinya di mata publik. Beban selanjutnya ada di pundak seluruh kyai NU umumnya dan kyai NU Jawa Timur khususnya. Polarisasi harus dihapus sampai ke akar-akarnya dengan menampilkan sosok alternatif yang akan menduduki posisi Ketua Umum PBNU.

Harapan terbesar warga Nahdliyyin ada pada NU Jawa Timur, karena walaupun NU di luar Jawa timur juga bisa untuk memunculkan figur alternatif, tetapi sudah pasti akan lemah dan tidak akan banyak berpengaruh. Jawa Timur jadi tumpuan semua pihak agar bom waktu perpecahan yang sudah nampak di depan mata tidak meledak. Tampaknya, waktu untuk melakukan tindak pencegahan masih cukup. Figur alternatif merupakan kebutuhan yang bisa dimunculkan NU Jawa Timur.

Pada saat yang sama, bila NU Jatim mampu menampilkan figur alternatif, maka ia bisa disebut telah menjalankan misi penyalamatan NU dari perpecahan internal ini. Sehingga polarisasi cukup terjadi sebelum Muktamar saja, dan tidak boleh dibawa sampai Muktamar. Cukup Muktamar yang telah lalu berlangsung ricuh dan tak kondusif. Jangan sampai Muktamar mendatang juga kembali ricuh. Itu alasan mendasar dibutuhkannya figur alternatif. Dan Jika PCNU/ PWNU Jatim tetep tidak percaya diri untuk mencalonkan kader terbaiknya sebagai ketum PBNU, maka dikhawatirkan publik menganggap kaderisasi di PWNU Jatim telah gagal, Karena tidak bisa mengangkat kader terbaiknya ke tingkat Nasional. Sebagai santri yang pernah lama Hidup di Jatim, Penulis sangat yaqin, kualitas dan kapasitas para tokoh-ulama Jatim sangat luar biasa dan banyak yang pantas memimpin NU saat ini. Wallahu a'lam bis shawab.

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas