Ketua KPK: Di Era Demokrasi, Threshold Pemilu Harusnya Nol Persen dan Biaya Politik Nol Rupiah
Dengan orkestrasi tersebut,kata Firli Bahuri sejatinya KPK tidak harus menjadi tukang cuci piring dari residu sistem.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menegaskan, seharusnya di era demokrasi, threshold pemilu nol persen dan biaya politik nol rupiah.
Firli menerangkan, dengan keterbukaan atau transparansi yang menjadi karakter utama sistem demokrasi, seharusnya praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di negeri ini tidak lagi terjadi. Atau setidaknya berkurang signifikan.
Di era non-demokrasi, pejabat publik dapat berbuat sekehandak hati mereka tanpa kontrol dari masyarakat.
Abuse of power menjadi tradisi dan pada akhirnya membawa Indonesia ke dasar jurang krisis multidimensi di tahun 1998.
Baca juga: Kapolri Tugaskan Novel Baswedan Cs Hentikan Budaya Korupsi di Indonesia
Firli menerangkan, demokrasi datang bagai cahaya matahari yang menyapu rumah yang sudah terlalu lama tertutup dan pengap. Kala pintu dan jendela rumah terbuka, cahaya matahari masuk, maka tikus dan kecoa akan keluar dari sarang dan persembunyiannya.
"Tikus dan kecoa tidak bisa hidup dalam ruangan terbuka, bersih, terang dan penuh cahaya. Itulah yang menjelaskan fenomena meningkatnya kasus korupsi pasca reformasi,” ujar Firli dalam perbincangan terkait pelaksanaan Hari Korupsi Dunia (Hakordia) 2021 dengan Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa, Kamis malam (9/12) .
Firli menggunakan “kurva J” untuk menjelaskan perjalanan Indonesia dari era non-demokrasi yang serba tertutup ke arah demokrasi yang karakter utamanya adalah keterbukaan.
Baca juga: Selamatkan Aset Negara, Jaksa Agung Perintahkan Terapkan TPPU untuk Kasus Korupsi
Dia melanjutkan, sudah 23 tahun Indonesia hidup di era demokrasi yang terbuka.
Bila diandaikan sebagai rumah, Indonesia hari ini seharusnya sudah bersih, terang dan penuh cahaya, serta tidak ada lagi ruang kumuh yang tertutup sebagai tempat yang nyaman bagi tikus dan kecoa.
"Jika korupsi masih banyak maka hanya ada tiga kemungkinan penyebabnya. Pertama, masih ada masalah dalam regulasi. Kedua, ada masalah dalam pelembagaan demokrasi. Ketiga, budaya antikorupsi belum tumbuh subur dan mapan di tengah masyarakat kita," tegas Firli.
Di sisi lain, transparansi dan keterbukaan di era demokrasi seharusnya juga berdampak pada kualitas pejabat publik.
Namun, dalam praktik yang kerap terjadi, calon pejabat publik bukanlah seseorang yang memiliki kapasitas yang memadai karena merupakan hasil dari politik transaksional.
Baca juga: Hari Antikorupsi, KNPI: Kasus Korupsi dan HAM Jadi Masalah Mengakar dan PR Bersama
Untuk mendapatkan pemimpin berkualitas, seharusnya tidak ada lagi pilkada, pileg dan pilpres yang membutuhkan ongkos politik yang mahal, sehingga pemimpin yang terpilih tidak tersandera kepentingan pihak lain.