Kyai Nasaruddin Umar dan Harapan Mengakhiri Jawa Sentris di Muktamar NU ke 34
Sebenarnya, kepemimpinan NU dari luar Jawa bukan perkara asing. Sejarah sudah menjadi saksi bisu bahwa NU.
Editor: Husein Sanusi
Kyai Nasaruddin Umar dan Harapan Mengakhiri Jawa Sentris di Muktamar NU ke 34
*Oleh: KH. Imam Jazuli Lc. MA
TRIBUNNEWS.COM - Muktamar NU ke-34 kali ini betul-betul menggairahkan. Setelah polarisasi dwipolar yang hanya fokus pada dua tokoh kini mulai reda dan redup dengan hadirnya Gus Yusuf Chudori dan kiai Marzuki Mustamar, Bagaimana pun konflik kepentingan itu niscaya namun dampak benturan yang destruktif masih bisa diminimalisir dengan Hadirnya banyak caketum. Salah satu ide brilian pernah disampaikan oleh komunitas Forum Muda Nahdliyyin Indonesia (FMNI) tentang arti penting penguatan NU Luar Jawa.
NU Luar Jawa adalah sebuah istilah yang sangat kompleks. Garis besarnya adalah ada terlalu banyak potensi-potensi yang NU miliki namun mereka berasal dari luar pulau Jawa. Potensi ini bagaikan tambang harta karun yang cukup perawan dan belum tersentuh dengan maksimal. Muktamar NU 34 semestinya menjadi mekanisme penguatan NU luar Jawa, dalam pengertian regenerasi kepemimpinan harus berasal dari luar Jawa.
Sebenarnya, kepemimpinan NU dari luar Jawa bukan perkara asing. Sejarah sudah menjadi saksi bisu bahwa NU pernah dipimpin oleh orang luar Jawa. Sebut saja KH. Idham Chalid (Ketum PBNU 1956-1984), kelahiran Satui, bagian tenggara Kalimantan Selatan. Walaupun sesudah Kyai Idham Chalid tidak muncul lagi tokoh pemimpin NU dari luar Jawa, itu bukan berarti peluang di masa-masa mendatang masih tertutup. Walaupun bukan pada Muktamar 34, masih bisa dipersiapkan untuk Muktamar 35 nanti. Namun, lebih cepat lebih baik dan muktamar 2021 ini adalah momentum terbaik.
Momentum terbaik itu terbuka untuk diraih, misalnya sebut saja melalui dukungan kepada Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A, kelahiran Ujung, Dua Boccoe, Bone. Jejak profil kyai Nasaruddin Umar sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Selain sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, bahkan pernah jabat sebagai Wakil Menteri Agama (2011-2014). Dengan kata lain, Kyai Nasaruddin Umar dapat menjadi pelanjut tongkat estafet kepemimpinan Kyai Idham Chalid di PBNU.
Jika dilihat dari kekuatan komunitas, Kyai Nasaruddin Umar adalah salah satu kader terbaik Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Artinya, jika Nasaruddin Umar didukung oleh kyai-kyai sepuh, maka tokoh-tokoh PMII akan siang all-out untuk beliau, ditambah lagi Mantan Ketua PB PMII Hery Haryanto Azumi menyampaikan bahwa kader PMII harus siap jadi Ketua Umum Tanfidziyah PB NU dan Presiden Indonesia.
Namun, di atas semua kalkulasi politik dan kekuasaan, ada satu spirit yang jauh lebih penting, yaitu penguatan NU luar Jawa. Artinya, sekalipun pada Muktamar 34 ini, posisi Ketum PBNU masih jatuh ke tangan orang Jawa, prinsip penguatan NU luar Jawa tetap tidak bisa padam. Artinya, pada Muktamar-muktamar mendatang, kyai-kyai NU luar Jawa harus sudah memimpin NU. Ini akan menjadi api spirit yang tidak akan padam sampai betul-betul terwujud.
Untuk alasan itu pula, menjadikan Muktamar 34 di Lampung sebagai ajang uji coba dan pengukuran tentang sejauh mana konsolidasi dan soliditas warga Nahdliyyin Luar Jawa adalah strategi yang cukup penting. Artinya, dengan mengusung kader-kader terbaik NU luar Jawa pada Muktamar Lampung tidak perlu mengejar kemenangan. Dengan berani tampil dan mengusung kader saja, maka itu sudah jauh lebih dari cukup. Tidak perlu kemenangan. Karena ini hanya uji coba. Tetapi, pada muktamar-muktamar selanjutnya, kepemimpinan NU di tangan Nahdliyyin Luar Jawa adalah hal mutlak yang tidak bisa ditawar.
Ada keresahan mendalam dari anak-anak muda NU, termasuk komunitas FMNI dan lainnya. Mereka ingin agar ada perhatian penuh dari PBNU ke warga-warga Nahdliyyin di luar Jawa. Namun, hingga saat ini, belum tampak mekanisme yang baik secara manajerial tentang bagaimana mengelola potensi-potensi di luar Jawa, termasuk memberikan mereka kesempatan memimpin NU itu sendiri.
Tidak adanya mekanisme struktural dan manajerial untuk mengelola potensi NU Luar Jawa dengan baik berdampak multidimensi. Pertama, tidak munculnya kader-kader pimpinan NU dari luar Jawa. Kedua, geliat NU hanya terpusat di Jawa, dan tidak mampu mendominasi seluruh pelosok negeri. Artinya, kantong-kantong NU di luar Jawa sangat terbatas dan ruang kosong NU ini terpaksa digarap oleh ormas-ormas non-NU. Ketiga, yang paling ironis adalah tidak adanya rasa percaya diri pada tokoh terbaik NU luar Jawa.
Ketidakpercayaan diri tokoh NU luar Jawa untuk maju menjadi Ketua Umum PBNU adalah perkara paling penting, karena ini bersumber dari lingkungan internal mereka sendiri. Artinya, dengan mata telanjang saja, kita bisa melihat perbedaan mentalitas antara orang Jawa dan non-Jawa. Coba perhatikan dan renungkan, betapa kader-kader terbaik baik NU dari Jawa memiliki rasa percaya diri yang tinggi, kemudian mencalonkan diri menjadi pemimpin. Sementara itu, mentalitas yang sama tidak tampak pada kader NU luar Jawa.
Minimnya mentalitas memimpin dari luar Jawa bukan perkara asing, dan tidak saja terlihat pada kasus pemilihan ketua umum di Muktamar NU, melainkan hampir menjadi fenomena nasional, seperti Pilpres. Dampaknya jauh lebih tragis kemudian. Yaitu, luar Jawa selalu dan terus-menerus menjadi objek kekuasaan, dan tidak ada ruang kesempatan menjadi subjek aktif dalam menyuarakan aspirasi mereka sendiri. Sebaliknya, aspirasi mereka adalah target empuk yang diperebutkan.
Penguatan NU luar Jawa pada gilirannya dapat dimaknai sebagai upaya mendorong mereka sebagai subjek yang aktif bukan lagi objek yang pasif. Jika hal ini tidak terwujud maka berdampak pada korosi makna Muktamar. Sekalipun muktamar diselenggarakan di luar Jawa, itu tidak berarti luar Jawa bisa berpartisipasi aktif dalam pemilihan. Boleh saja terjadi, luar Jawa seperti Lampung, dan entah apalagi nantinya, hanya menjadi medan tempur orang-orang Jawa merebut kekuasaan.
Idealnya, jika muktamar diselenggarakan di luar Jawa maka putra daerah mereka layak memimpin NU. Di mana pun nantinya Muktamar diselenggarakan, maka di situlah putra terbaik layak dipilih untuk memimpin. Ini adalah hakikat penyelenggaraan muktamar di luar Jawa. Jadi, bukan menjadikan luar Jawa sebagai arena permainan orang-orang Jawa. Namun, karena persiapan belum sepenuhnya matang bagi kader NU Lampung, maka tidak masalah bila mengusung kyai Nasaruddin Umar dari Bone untuk Muktamar ke-34 kali ini.
Majunya Kyai Nasaruddin Umar sebagai calon ketua umum tidak serta merta diharapkan mewakili diri beliau sendiri, melainkan lebih tepatnya diharapkan menjadi simbol universal tentang prinsip penguatan NU Luar Jawa. Majunya Kyai Nasaruddin Umar juga bisa diartikan sebagai pijakan awal untuk membangkitkan rasa percaya diri bagi kader-kader terbaik NU untuk maju menjadi calon ketua umum pada muktamar-muktamar yang akan datang. Saat semua itu terjadi, maka Jawasentrisme akan tumbang. Pemimpin tidak harus orang Jawa.
Lebih-lebih Kyai Nasaruddin Umar nantinya muncul sebagai pemenang. Kemudian kepemimpinan NU jatuh ke tangan orang non-Jawa. Ini akan menjadi pelajaran berharga bagi para politisi di tingkat nasional, dan akan mempengaruhi konstelasi politik pada Pilpres 2024. Pemimpin Nasional tidak harus orang Jawa. Jika PBNU mampu menginspirasi peta dan alam pikir politik nasional maka ini dapat dihitung sebagai kontribusi NU bagi kedewasaan dan demokrasi di Indonesia. Sebaliknya, kita sebagai warga Nahdliyyin tidak bisa bicara demokrasi dan desentralisasi lebih jauh, jika kepemimpinan NU sendiri masih Jawa Sentris. Wallahu a'lam bis shawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.