Komnas Perempuan Sayangkan Langkah DPR Tak Masukan RUU TPKS Dalam Agenda Rapat Paripurna
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyayangkan langkah DPR tak memasukan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam rapat paripurna.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyayangkan langkah DPR tak memasukan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) ke dalam agenda rapat Paripurna.
"Komnas Perempuan sangat menyayangkan proses legislasi RUU TPKS yang tersendat sehingga belum ditetapkan sebagai agenda rapat paripurna sebagai usul inisiatif DPR RI dalam sidang paripurna DPR RI yang diselenggarakan pada Kamis, 16 Desember 2021," ujar Andy melalui keterangan tertulis, Jumat (17/12/2021).
Padahal, menurut Andy, penetapan RUU TPKS telah dinanti oleh masyarakat yang menginginkan perlindungan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual.
RUU ini, kata Andy, juga menjadi upaya memutus keberulangan di tengah-tengah kondisi darurat kekerasan seksual.
"Penetapan ini telah dinanti-nanti oleh rakyat Indonesia khususnya korban tindak pidana kekerasan seksual, keluarga korban, dan pendamping korban," kata Andy.
Andy mengingatkan bahwa periode DPR 2014-2019 RUU ini pernah dibahas dengan pemerintah.
Baca juga: Tiap Hari 35 Perempuan jadi Korban, Komnas Perempuan Menyayangkan Batalnya Penetapan RUU TPKS
Namun, sampai akhir periode tidak berhasil menyetujui satu pun isu dalam daftar investaris masalah (DIM) RUU P-KS.
Akibatnya, RUU P-KS tidak dimasukkan sebagai RUU carry over melainkan harus dimulai dari awal.
"Salah satu faktornya adalah, kepentingan hak-hak korban tidak ditempatkan sebagai isu pokok pembahasan. Sedangkan mispersepsi, miskonsepsi dan prasangka terhadap substansi RUU P-KS saat itu merebak diberbagai ruang dan media sosial turut mempengaruhi pembahasan di Panja Komisi 8 DPR RI," ucap Andy.
Kondisi ini, kata Andy, masih berlanjut terhadap RUU tersebut hingga sekarang, yang namanya diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
"Kondisi yang semakin menjauhkan upaya mewujudkan payung hukum bagi korban kekerasan seksual," kata Andy.
Pihaknya pun mendesak Pimpinan DPR RI untuk memastikan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS sebagai usul inisiatif DPR RI pada tahun 2022.
DPR Batal Agendakan RUU TPKS dalam Rapat Paripurna
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Willy Aditya, memastikan tak ada agenda penetapan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR pada Rapat Paripurna besok.
"Iya belum diagendakan di rapur (rapat paripurna) besok," kata Willy kepada wartawan, Rabu (15/12/2021).
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI Indra Iskandar mengonfirmasi beredarnya surat undangan rapat paripurna besok.
Dalam surat bernomor B/16798/LG.01.03/12/2021 itu, itu hanya dua agenda yang akan dibahas dalam rapat paripurna, yakni pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan atas RUU perubahan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang jalan.
Agenda dilanjutkan penyampaian pidato Ketua DPR RI Puan Maharani pada penutupan masa persidangan II tahun sidang 2021-2022.
"Iya betul," kata Indra saat dikonfirmasi.
Melindungi Korban
Ketua Panja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Willy Aditya mengatakan RUU tersebut penting untuk menjadi payung hukum yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP, UU KDRT, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang/Traficking, UU Pornografi, dan sebagainya.
Sebab, banyak korban TPKS ketika melapor kepada polisi malah menjadi tersangka.
Seperti Baiq Nuril di NTB dan lain-lain.
"Jadi, RUU TPKS ini dibutuhkan dalam dua ranah, yaitu ranah bagi korban bisa mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum, dan kedua bagaimana aparat penegak hukum baik polisi maupun jaksa khususnya memiliki legal standing dalam menindak pelaku TPKS," kata Willy Aditya dalam diskusi bertajuk Stop Kekerasan Seksual di Sekitar Kita, di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Jumat (26/11/2021).
Menurut Willy, selama ini Polisi dan Jaksa bekerja berdasarkan hukum positif, sehingga kalau tak ada dasar hukumnya mereka tidak bisa bekerja. Karenanya RUU TPKS ini dibutuhkan.
Baca juga: RUU TPKS, Kepedulian DPR Dengar dan Respons Publik soal Isu Kekerasan Seksual
Apalagi korban itu seperti sebuah fenomena gunung es, tidak banyak yang bisa speak up, melapor karena secara sosiologis bicara seks itu masih dianggap hal yang tabu, saru dan bahkan aib.
"Korban kekerasan seksual itu ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, ditimpuk batu dan disorakin. Seolah tak ada tempat bagi korban untuk mencari keadilan. Makanya, RUU TPKS ini bersinggungan dengan kebebasan seksual, penyimpangan seksual, dan kekerasan seksual," kata Willy.
Karena itu, lanjut Willy, khusus untuk RUU ini hanya fokus pada kekerasan seksual yang terjadi di ruang publik.
Sementara seks itu merupakan ruang privat, pribadi dan hanya kebetulan obyeknya kekerasan seksual.
"Jadi, RUU ini tinggal political will saja untuk dibawa ke paripurna DPR untuk disetujui sebagai usul inisiatif DPR RI," jelas Willy.
Baca juga: Ketua Panja: RUU TPKS untuk Melindungi Korban dalam Mencari Keadilan Hukum
Draft RUU TPKS sudah disepakati DPR pada 17 November 2021.
Ada enam poin krusial yang sudah disepakati, di antaranya mengenai judul menjadi RUU TPKS yang disetujui 5 fraksi, 3 fraksi menolak, dan 1 fraksi abstain.
"Kita harapkan pada masa sidang ini sebelum 15 Desember bisa disetujui," ungkapnya.
Keunggulan lain dari RUU TPKS ini di pengadilan tidak perlu tiga alat bukti, tapi cukup satu alat bukti seperti kesaksian.
"Ini RUU yang progresif terhadap perlindungan dan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Tapi, kalau paripurna nanti gagal, ya gagal sudah selesai. Selanjutnya kalau ada kemauan baik pemerintah bisa menjadi usul inisiatif pemerintah," katanya.
Baca juga: Isu RUU TPKS Legalkan Seks Bebas dan LGBT, Ketua Panja: Jangan Berasumsi dan Memainkan Emosi Publik
Sementara itu, Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen yang juga politikus Fraksi PDIP Diah Pitaloka mengatakan sebanyak 90 persen korban TPKS itu perempuan.
Karena itu, partisipasi dan emansipasi untuk mendukung RUU TPKS ini tak boleh surut di DPR.
Menurutnya pasca terbitnya Permendikbudristek No. 30/2021 menjadikan kampus-kampus sadar hukum atas TPKS ini.
Terlebih makin banyak kasus pidana akibat kasus kawin siri di Cianjur dengan warga Arab Saudi hingga meninggal dunia, di Bogor diperkosa hingga bunuh diri karena malu dan lain-lain.
"Jadi, lahirnya RUU TPKS ini semangatnya sangat bagus, maka harus didukung," ungkapnya.