Menjaga Marwah Ulama dari Intrik Siyasi di Muktamar NU
Jika ini terjadi sebelum sama-sama berangkat ke Lampung maka selesailah sudah urusan muktamar NU.
Penulis: Husein Sanusi
Editor: Hasanudin Aco
Dampak lain dari Friksi Siyasi dalam muktamar Jombang masih terasa hingga kini dengan munculnya kelompok sempalan NU yang menamakan diri mereka dengan NU Garis Lurus.
Lampung di penghujung tahun 2021 ini tiba-tiba memiliki alaqah kuat dengan Jam’iyyah NU.
Arena Muktamar organisasi para Kiai akan digelar di daerah yang juga terkenal dengan gajah ini.
Konstalasi pemilihan Ketua Umum PBNU di Muktamar ke-34 sempat memanas soal penentuan jadwal muktamar.
Kiai Said yang sudah dua periode memimpin PBNU ternyata masih mengincar posisi ketum untuk yang ketiga kali berhadapan dengan yuniornya KH. Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya.
Maju mundurnya jadwal muktamar sempat jadi pemicu sebelum akhirnya baik kubu Kiai Said maupun Gus Yahya berdamai untuk menggelar muktamar sesuai jadwal yang disepakati saat Konbes dan mendapat persetujuan dari pemerintah.
Friksi Siyasi antar elite NU memang cukup mereda setelah itu, tapi kemungkinan friksi siyasi itu akan kembali menajam saat memasuki arena muktamar besok.
Ada baiknya baik kubu Kiai Said dan Gus Yahya hari-hari ini menengokkan kepala ke kawulo alit yang mayoritas adalah Nahdliyyin. Dalam hati kecil mereka pasti ingin melihat para elite NU yang mayoritas para Kiai tidak terlalu menampakkan kemahiran mempraktekkan trik siyasi.
Menonjolkan trik Siyasi dalam konteks Muktamar NU hanya akan membuat bathin Nahdliyyin merintih menyaksikan umbaran daftar aib masing-masing tokoh bergelar Kiai dan Gus.
Lalu, dimana letak marwah para ulama jika yang ditonjolkan hanya “Jarh” nya saja tanpa diimbangi dengan sikap “Ta’dil”?
Toh, aturan-aturan yang ditetapkan dalam mekanisme baik pemilihan Rais Aam maupun Rais Tanfidz bukanlah berasal dari Kitab Suci yang harus diperlakukan seperti Nash.
Aturan itu masih bikinan manusia yang bisa diatur kembali sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.
Maka seharusnya dalam hal ini yang berlaku adalah kaedah "al-ashlu fil asyya’ al-ibahah hatta yadulla ad dalil ala khilafihi" (hukum asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya).
Bukan kaedah sebaliknya yang memakai kata kunci “Pokoe” atau kaidah sebaliknya, “al-ashlu fil asyya’ at-tahrim hatta yadulla ad dalil alal ibahah” (hukum asal sesuatu itu haram sampai ada dalil yang membolehkannya).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.