Periode Transisi, NU Dinilai Perlu Keberlanjutan
Muktamar ke-34 NU momentum strategis NU untuk melakukan perbaikan organisasi, bangsa, dan dunia.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Muktamar ke-34 NU (Nahdlatul Ulama) yang hari ini dibuka Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah muktamar transisi sebelum NU genap berusia 100 tahun pada 2026 nanti.
Banyak pihak berharap Muktamar NU ini akan menghasilkan visi 100 tahun kedua NU yang solid dan memberikan solusi bagi problematika bangsa Indonesia dan umat manusia.
Ketua Umum Forum Satu Bangsa, Hery Haryanto Azumi, yang banyak bergerak dalam kajian strategis dan gerakan arus bawah menyatakan bahwa ini adalah momentum strategis NU untuk melakukan perbaikan organisasi, bangsa, dan dunia.
Pengabdian NU selama hampir satu abad usianya telah berhasil membentuk karakter bangsa dan turut menjadi penentu bentuk negara pluralistik yang diterima semua elemen bangsa.
"NU telah berhasil mengusung politik kebangsaan di atas politik keagamaan tanpa harus kehilangan identitas keislaman yang menjadi spirit dan inspirasinya," kata tokoh muda NU yang akrab disapa Mas Hery ini, Rabu (22/12/2021).
Kepeloporan NU untuk memenangkan politik kebangsaan ini telah membangkitkan kepercayaan tentang kemungkinan menjadikan agama sebagai inspirasi bagi bangunan politik demokratis tanpa terjebak kepada sekularisme yang menjadi musuh bagi spiritualitas kaum agamawan yang menghendaki sosok kepemimpinan yang mandito atau kental nuansa spiritualnya.
Baca juga: Kompak Kenakan Sarung, Jokowi dan Maruf Tiba di Lampung untuk Buka Muktamar NU, Disambut Selawat
Pun demikian NU tidak terjebak ke dalam formalisme politik keagamaan yang saat ini menjadi aspirasi kelompok islamis.
Komunitas agama yang beranggotakan 100 juta pengikut dan simpatisan ini telah berhasil membentuk satu karakteristik pemikiran keagamaan dan praktik kebudayaan yang khas dan menjiwai kebudayaan nasional.
Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim ini sulit untuk dipisahkan dari identitas islam rahmah atau islam damai yang telah berhasil diformat melalui perjalanan Islam lebih dari 500 tahun di Indonesia.
Dan salah satunya, untuk tidak mengatakan sebagian besar, karena pengaruh NU yang menjadi pemegang klaim tradisi panjang tersebut sekalipun akhir-akhir ini mulai masuk unsur-unsur radikal dan liberal ke dalam Indonesia melalui pintu keterbukaan pasca Reformasi.
Baca juga: Kenakan Sarung Hijau, Presiden Jokowi Bertolak ke Lampung Untuk Buka Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama
"NU berhasil berkelit dari jebakan formalisme politik dan sekularisme demokratis yang gagal dihindari oleh banyak negara dengan populasi muslim yang mayoritas atau signifikan", tutur Hery.
Dengan landasan politik substantif ini, lanjut mantan Ketua Umum PMII ini, NU dapat mendorong Bangsa Indonesia untuk menyusuri track masa depan yang relatif bebas dari konflik ideologis.
"Tantangan terbesar NU di periode transisi ini adalah memastikan bahwa legacy tersebut dapat diselamatkan dan dilanjutkan pada Periode 100 Tahun Kedua NU," kata Hery.
Untuk itu, menurut inisiator Sustainable Actions Club ini, Visi Transformasi ini harus disematkan dalam semua rangkaian program organisasi dan langkah-langkah politik NU dari satu periode ke periode berikutnya.
"Setiap periode kepengurusan NU selalu terikat dengan kontrak untuk melakukan perbaikan (harakatul ishlah) dan ini harus dibuat tersambung secara akumulatif sehingga mampu membentuk bangunan utuh atau melengkapi puzzle dalam gambar besar bangsa dan tatanan dunia ini," ujar mantan Wasekjen PBNU ini.
Baca juga: Gus Yahya Datangi Muktamar NU di Lampung Naik Privat Jet, Mengaku Tak Dapat Tiket Pesawat Reguler
Saat ini, dalam pandangan Hery, NU memerlukan figur yang dapat menghantarkan jama'ah dan jam'iyyah NU melalui masa transisi ini dengan selamat dan mampu beradaptasi dengan arus baru perubahan dunia.
"Sangat berbahaya jika NU salah strategi dan langkah dalam menjaga basis tradisi nasional, tidak hanya bagi NU tetapi juga bagi Bangsa Indonesia," kata Hery.
Agar NU utuh memasuki Periode 100 Tahun Kedua, tokoh yang mendapatkan gelar KRH Pujonagoro dari Kasunanan Solo ini mengusulkan agar duet Prof Dr KH Ma'ruf Amin sebagai Rais 'Aam Syuriyah dan Prof Dr KH Said Aqil Sirajd sebagai Ketua Umum Tanfidziyah dipertahankan dengan melibatkan SDM muda NU yang melimpah di berbagai bidang dan profesi agar pada fase berikutnya kaum muda NU telah betul-betul siap untuk menerima estafet kepemimpinan.
"Dari berbagai nasihat dan usulan para kyai sepuh dan dzurriyah, kedua figur tersebut adalah guarantor keutuhan dan keberlanjutan (sustainability) NU," kata alumnus Pesantren Denanyar ini.