Polemik Pangdam Jaya, Usman Hamid: Penyebab Jokowi Ulangi Kesalahan SBY Adalah Pengangkatan Prabowo
Kesalahan yang dimaksud, kata Usman, adalah pengangkatan perwira-perwira yang terimplikasi kasus HAM untuk menduduki struktur komando.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menanggapi polemik pengangkatan eks anggota Tim Mawar Mayjen TNI Untung Budiharto sebagai Pangdam Jaya.
Usman berpandangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengulangi kesalahan yang sama dengan yang dilakukan Presiden Ke-6 RI Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kesalahan yang dimaksud, kata Usman, adalah pengangkatan perwira-perwira yang terimplikasi kasus HAM untuk menduduki struktur komando.
Ia mencontohkan di era pemerintahan SBY, Untung menjabat sebagai Komandan Yonif 733/Masariku (2004—2005) dan Komandan Kodim 1504/Ambon (2005—2006).
Hingga jelang akhir pemerintahan SBY, kata dia, Untung tercatat menjabat Komandan Korem 045/Garuda Jaya (2013—2014).
Usman berpendapat faktor utama yang menyebabkan Jokowi mengulangi kesalahan SBY adalah pengangkatan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan RI.
Baca juga: Apa Itu Tim Mawar Kopassus? Soal Hilangnya Para Aktivis, hingga Eks Anggota Kini Jadi Pangdam Jaya
"Faktor utama yang menyebabkan kesalahan sama bisa berulang adalah pengangkatan Prabowo. Itu jelas sangat mempengaruhi karena corak pembentukan kabinet Jokowi yang terlalu akomodatif-kompromistis dan transaksional," kata Usman ketika dihubungi Tribunnews.com pada Senin (10/12/2021).
Menurut Usman, kabinet Jokowi di era kedua semakin jauh dari kabinet kerja yang berbasis meritokrasi dan profesionalitas.
Padahal menurutnya ada banyak perwira tinggi TNI yang rekam jejaknya baik, akan tetapi pertimbangan politik yang pragmatis tampaknya lebih mendominasi.
"Seperti saya jelaskan sebelumnya bahwa keputusan terkait Pangdam di era Jokowi ini bukan hal baru, ada pengangkatan mantan anggota Tim Mawar lainnya di jabatan strategis seperti Kemhan dan Kemenkopolhukam," kata Usman.
Usman menilai pengangkatan orang-orang yang pernah tersangkut kasus-kasus pelanggaran HAM serius jelas menunjukkan bahwa sistem akuntabilitas militer di lingkungan TNI selama ini tidak berjalan secara efektif dalam menghadirkan keadilan bagi korban.
Hal tersebut, kata dia, menegaskan kembali ketiadaan penghukuman bagi orang-orang yang terlibat pelanggaran HAM.
"Ini juga membuat keluarga korban semakin kecewa dan meragukan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu," kata Usman yang juga Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Dengan demikian, kata dia, kebijakan mengangkat perwira tertentu yang pernah tersangkut pelanggaran HAM berat untuk menduduki jabatan struktur komando utama atau fungsional atau posisi strategis lainnya di lingkungan militer jelas keliru.
Undang-Undang 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional (UU TNI) Indonesia, kata dia, memuat ketentuan-ketentuan yang mewajibkan pemerintah untuk mendasarkan kebijakannya pada hak asasi manusia.
UU TNI menegaskan bahwa TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, bukan kepentingan politik pemerintah yang berkuasa.
Selain itu, kata dia, UU TNI juga menegaskan pengembangan itu harus mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi.
"Hal lain yang juga tidak dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah adalah revisi atas UU Pengadilan Militer yang selama ini cenderung dipakai oleh elite TNI untuk menghindari risiko maksimal yang dapat dialami mereka dengan cara menyalahkan bawahan mereka," kata Usman.