Gatot Nurmantyo Gugat UU Pemilu ke MK: Aturan Presidential Threshold Harusnya Tidak Ada
Uji materiil ini diajukan oleh mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, dengan didampingi kuasa hukum Refly Harun.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK ) hari ini, Selasa 11 Januari 2022, menggelar sidang Perkara Nomor 70/PUU-XIX/2021 terkait Uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Uji materiil ini diajukan oleh mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, dengan didampingi kuasa hukum Refly Harun.
Gugatan Gatot menyangkut ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen.
Refly Harun yang bertindak sebagai kuasa hukum Gatot, menerangkan bahwa presidential threshold 20 persen nyatanya membatasi kemunculan calon pemimpin di masa depan, serta membatasi kemewahan rakyat memilih pemimpin.
"Presidential Threshold ternyata membatasi munculnya calon - calon pemimpin ke depan, dan dalam tanda kutip kemewahan bagi pemilih atau rakyat Indonesia untuk dapat memilih calon - calon presiden," kata Refly dalam sidang yang disiarkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI, Selasa.
Adapun pokok permohonan yang diajukan hanya menyangkut satu pasal, yakni Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi 'Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari kursi DPR atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Baca juga: Presidential Threshold 20 Persen Dinilai Gagal Perkuat Sistem Presidensial
Menurut kubu Gatot, Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan tiga pasal pada UU Dasar 1945, yakni Pasal 6 Ayat (2), Pasal 6a Ayat (2), dan Pasal 6a Ayat (5).
Bunyi dalam tiga pasal UU Dasar dinilai sudah jelas mengatur hak konstitusi kepada partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden sepanjang menjadi peserta pemilihan umum.
Dalam pasal - pasal tersebut, tak ada ketentuan yang mengatakan soal keharusan 20 persen atau harus memenuhi ambang batas tertentu.
"Sama sekali tidak ada ketentuan yang mengatakan harus 20 persen, atau harus memenuhi ambang batas tertentu. Dan itu sekali lagi sudah merupakan close legal policy yang tidak terkait tata cara, tapi substansi. Untuk itu seharusnya tidak ada yang namanya ambang batas," tegas Refly.