Pakar Hukum Pidana: Vonis Heru Hidayat Sesuai UU dan Asas Legalitas Hukum Pidana
Menurutnya putusan hakim dalam perkara Heru Hidayat, pada dasarnya telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa menilai jika putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis nihil Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dalam kasus korupsi PT Asabri telah sesuai ketentuan.
"Merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 65 - 68 serta Pasal 71 KUHP tentang meerdaadsche samenloop atau gabungan tindak pidana, maka penjatuhan pidana seumur hidup telah menyerap pidana pokok lainnya (penjara atau denda) dalam hal adanya perkara dimana seseorang melakukan beberapa tindak pidana," kata Eva, kepada wartawan, Kamis (20/1/2022).
Menurutnya putusan hakim dalam perkara Heru Hidayat, pada dasarnya telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut.
"Maka merujuk pada asas nulla poena sine lege poenali dan asas legalitas putusan hakim merupakan putusan yang merujuk pada ketentuan dan asas-asas hukum pidana itu," lanjutnya.
Hal tersebut Eva katakan menanggapi pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang memerintahkan jaksa penuntut umum untuk mengajukan banding terkait putusan vonis nihil Heru Hidayat karena diduga telah mengusik keadilan di masyarakat.
Baca juga: Jaksa Agung: Vonis Nihil Heru Hidayat di Kasus Korupsi Asabri Tidak Memenuhi Rasa Keadilan
Perlu diketahui bahwa vonis tersebut jauh lebih ringan dibandingkan dengan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut Heru divonis hukuman mati.
Sebelumnya Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Ahmad Taufan Damanik menyarankan agar jaksa tidak perlu lagi menerapkan tuntutan hukuman mati.
Ia melihat penegakan hukum yang demikian, hanya sebatas pencitraan publik saja. Sesuatu yang kemudian bisa dibanggakan bahwa telah menuntut mati seseorang.
"Sebetulnya secara tidak eksplisit pemerintahan Jokowi, karena beberapa tahun terakhir kan sudah melakukannya, moratorium (penundaan) terhadap hukuman mati. Anehnya kenapa diajukan lagi hukuman mati? Saya kira lebih kepada pencitraan publik saja," kata Taufan beberapa waktu lalu.
Menurut Taufan, hukuman mati dapat mencederai prinsip hak asasi manusia, sehingga sudah selayaknya tidak lagi diberlakukan sebagai solusi terakhir dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.
"Contohnya ya, hukuman mati yang diberlakukan pada tidak pidana korupsi, gak terbukti di negara-negara manapun di dunia ini bahwa itu efektif untuk mengurangi praktik korupsi," ujarnya menambahkan.
Seperti diketahui bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memvonis nihil mantan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dalam kasus korupsi PT Asabri. Selain itu, hakim juga memutuskan aset yang telah disita oleh jaksa dari Heru Hidayat, sebagian dikembalikan karena beberapa alasan.
Seperti kapal LNG Aquarius yang telah dibeli 3 konsorsium sejak 14 Desember 2011 dengan harga 33 juta dolar AS dari BGT Ltd dan dalam perjalanannya PT TRAM Mineral TBK menjadi pemegang saham di PT Hanochem Shipping.
Selain itu terdapat 4 kapal milik PT Trada Alam Mineral Tbk yang juga diperintahkan untuk dikembalikan, seperti Kapal Pasmar 01, Kapal Taurians one, Kapal Taurians two, dan Kapal Taurians Three.