Banyak Kritik Soal FIR dengan Singapura, Pemerintah Diminta Transparan Soal Dokumen MoU
Sukamta nilai pemerintah perlu bersikap transparan menjelaskan detail isi kesepakatan yang telah ditandatangani dengan Singapura.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perdebatan terkait untung ruginya kesepakatan penyesuaian pelayanan ruang udara (realignment Flight Information Region – FIR) antara pemerintah Indonesia dengan Singapura yang terus bergulir.
Menurut Anggota Komisi I DPR RI Sukamta, ini perlu disikapi pemerintah dengan bersikap transparan menjelaskan detail isi kesepakatan yang telah ditandatangani.
"Kesepakatan yang dibuat dengan negara lain termasuk dalam kategori kebijakan publik karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan juga menyangkut kedaulatan negara. Maka dokumen kesepakatan baik terkait ekstradisi, pelayanan ruang udara dan kerjasama pertahanan yang telah ditandangani wajib untuk dapat diakses oleh publik," kata Sukamta dalam keterangannya, Selasa (1/2/2022).
"Sejauh ini yang beredar adalah penjelasan poin-poin kesepakatan, bukan dalam bentuk dokumen resmi yang telah ditandangani," tambahnya.
Baca juga: Syarief Hasan: Perjanjian FIR Bukti Kedaulatan NKRI Dirampas Negara Lain
Baca juga: Tugas Perdana Panglima Koopsudnas: Mengurus Transisi FIR Indonesia-Singapura
Menurut Wakil ketua Fraksi PKS ini, wilayah kepuluan Natuna dan kepulauan Riau sangat strategis bagi Indonesia.
Tentunya, publik berharap kedaulatannya baik di darat, laut maupun udara dalam ruang kendali pihak Indonesia.
"Berdasarkan kesepakatan yang termaktub dalam UNCLOS III 1982 dan Konvensi Chicago 1944, kedaulatan negara di ruang udara di atas teritorinya adalah bersifat ekslusif. Artinya ruang udara di atas wilayah kepulauan Natuna dan Riau adalah kedaulatan Indonesia. Jika mendasarkan klaim ini, mestinya pengelolaan FIR di wilayah tersebut dikelola oleh Indonesia," ucap Sukamta.
Baca juga: KSP Nilai Keberhasilan Indonesia Ambil Alih FIR Kepri-Natuna dari Singapura Capaian Monumental
Menurut Sukamta, jika pemerintah saat ini sudah memiliki kemampuan teknologi dan sumber daya manusia yang mumpuni di bidang navigasi serta teknologi keselamatan penerbangan.
Semestinya negosiasi untuk mendapatkan ruang udara di atas wilayah kepulauan Natuna dan Riau akan lebih kuat.
"Saya menduga poin-poin kesepakatan terkait FIR terasa tidak banyak perubahan dibanding kesepakatan lama, seperti terkait pengelolan ruang udara pada ketinggian 0 sampai 37.000 kaki masih menjadi kewenangan Singapura. Ini karena daya tawar Indonesia tidak cukup kuat. Indonesia sejauh ini belum bisa masuk anggota ICAO (International Civil Aviation Organization) kategori III, sementara Singapura sudah pada Kategori II," paparnya.
Oleh sebab itu, Sukamta berharap dokumen MOU bisa diakses oleh publik, sehingga semua pihak dapat memberikan penilaian yang obyektif terhadap poin-poin kesepatan yang telah ditandatangani.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.