Tidak Bisa Nikahi Pasanganya yang Beda Agama, Seorang Pria Gugat UU Perkawinan ke MK
Pria bernama E.Ramos Petege melayangkan gugatan ke MK terkait UU Pekawinan karena membuatnya tidak bisa menikahi pasangannya yang beda agama.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Gugatan terkait UU Perkawinan dilayangkan seorang pria asal Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Papua ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pria tersebut bernama E Ramos Petege.
Dikutip dari laman MK, gugatan tersebut diterima oleh MK pada Jumat (4/2/2022).
Sementara untuk nomor gugatan adalah 17/PUU/PAN.MK/AP3/02/2022.
Kemudian isi gugatan dari Ramos Petege tertulis, dirinya yang beragama Katholik akan menikah dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam.
Baca juga: Batas Usia Pensiun Anggota TNI Digugat ke MK, Jenderal Andika Perkasa Minta Hakim Bijaksana
Baca juga: Polemik Pindah IKN: dari Digugat ke MK hingga Adanya Petisi Mantan Pendukung Jokowi
Diketahui hubungan dengan pasangannya tersebut telah terjalin selama tiga tahun.
Namun dikarenakan keduanya memiliki agama yang berbeda, maka pernikahan pun dibatalkan.
Akibat dibatalkannya pernikahannya tersebut, Ramos Petege menggugat UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Menurutnya syarat sah suatu pernikahan yang diatur dalam UU Nomor 1/1974 akan memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan dalam menafsirkan sahnya suatu perkawinan.
Hanya saja, UU tidak memberikan pengaturan apabila pernikahan dilaksanakan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda.
"Ketidakpastian tersebut secara aktual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki Pemohon, sehingga ia tidak melangsungkan perkawinannya karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodir negara," tulis Petege dalam gugatannya, dikutip Tribunnews, Selasa (8/2/2022).
Kemudian secara teknis, Ramos Petege meminta MK untuk menyatakan UU Nomor 1 Tahun 1974 tenang Perkawinan tidak lagi relevan dalam mengolah kebutuhan penegakan HAM.
Sehingga ia menginginkan agar majelis hakim menyatakan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 untuk ditambahkan aturan.
Adapun aturan tambahan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Pasal 2 ayat 1
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 2 ayat 2
Perkawinan dengan berbeda agama dan kepercayaannya dapat dilakukan dengan memilih salah satu meode pelaksanaan berdasarkan pada kehendak bebas oleh para mempelai dengan pengukuhan kembali di muka pengadilan.
Pasal 2 ayat 3
Tiap-tap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Gugatan Serupa Pernah Dilayangkan
Gugatan terkait UU Perkawinan dalam konteks pernikahan beda agama ternyata juga pernah dilayangkan kepada MK.
Dikutip dari Kompas.com, gugatan tersebut dilakukan oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Anbar Jayadi bersama empat rekannya.
Gugatan itu dilakukan pada tahun 2014.
Mereka menganggap UU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.
Menurut Anbar, imbas karena adanya UU tersebut adalah masyarakat Indonesia yang hendak melangsungkan pernikahan beda agama, justru menghindari pasal tersebut dengan cara penyelundupan hukum.
Baca juga: Syarat Mengurus Akta Perkawinan Non Muslim serta Peraturan Pencatatan Perkawinan Penduduk WNI
Yaitu dengan menggunakan modus pernikahan di luar negeri atau juga pernikahan secara adat.
"Jadi pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974 itu justru berujung penyelundupan hukum karena seharusnya konstitusi memberikan kepastian hukum," ujar Anbar pada 4 September 1974.
Selain itu, Anbar juga menambahkan mengenai negara untuk tidak lagi terpaku dengan nilai-nilai luhur agama dan kepercayaan setiap warga negaranya, sehingga biarkan masyrakat yang memutuskan berdasarkan hati nurani dan keyakinannya sendiri.
Alasan tersebut pun menjadi dasar Anbar dan keempat rekannya untuk meminta MK menyatakan pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 174 tentang perkawinan di mana bertentangan dengan UUD 1945.
Adapun UUD 1945 yang dimaksud adalah pasal 27 ayat 1 dan pasal 28B ayat 1, pasal 28D ayat 1, pasal 28E ayat 1 dan ayat 2, pasal 28I ayat 1, serta pasal 29 ayat 2.
Cara Menikah Beda Agama secara Legal
Dikutip dari Kompas TV terdapat dua cara untuk menikah beda agama di Indonesia.
Hal ini tertulis dalam jurnal berjudul "Kajian Hukum terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam".
Jurnal ini dimuat dalam Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 10 ahun 2015.
Cara pertama yang dapat dilakukan adalah dengan 'mengakali' UU Perkawinan.
Hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara salah satu pihak melakukan 'perpindahan agama sementara' dan mengikuti upacara perkawinan yang sah berdasarkan salah satu agama.
Sehingga hal tersebut akan memenuhi syarat perkawinan yang sah menurut pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974.
Kemudian dua pihak yang menikah kembali memeluk agama masing-masing.
Baca juga: UU IKN Digugat ke Mahkamah Konstitusi, Faldo Maldini: Kalau Merasa Tak Sesuai, Silahkan Digugat
Lantas, cara kedua adalah dengan menempuh berkat Putusan MA No. 1400K/Pdt/1986 yang memperbolehkan Kantor Catatan Sipil untuk melangsungkan pernikahan beda agama.
Untuk lembaga yang bertugas mencatat pernikahan adalah Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama.
Mengenai keluarnya putusan tersebut berdasarkan pasangan beda agama Andy Vonny Gani P. dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan.
Keduanya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan kemudian diperbolehkan untuk menikah beda agama.
Putusan Mahkamah Agung (MA) tersebut karena pasangan dianggap tidak menghiraukan peraturan agama sehingga tidak ada halangan untuk menikah secara sah.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Kompas.com/Febrian)(Kompas TV/Ikhsan Abdul Hakim)