KPK Tambah Masa Tahanan Hakim PN Surabaya Itong Isnaini Hidayat
KPK menambah masa penahanan hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Itong Isnaini Hidayat selama 40 hari ke depan.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah masa penahanan hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Itong Isnaini Hidayat selama 40 hari ke depan.
Itong telah ditetapkan sebagai tersangka tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di PN Surabaya.
"Tim penyidik kemudian telah memperpanjang masa penahanan tersangka IIH (Itong Isnaini) dan kawan-kawan untuk waktu 40 hari ke depan, terhitung 9 Februari 2022 sampai dengan 20 Maret 2022," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (9/2/2022).
Tak hanya Itong, perpanjangan penahanan selama 40 hari juga dilakukan tim penyidik KPK tehadap dua tersangka lain masing-masing kuasa PT Soyu Giri Primedika Hendro Kasiono dan Panitera Pengganti pada PN Surabaya Hamdan.
Baca juga: Dewas KPK Proses Laporan Dugaan Pelanggaran Etik Lili Pintauli Terkait Kebohongan Saat Jumpa Pers
Adapun Itong ditahan di Rutan KPK Kavling C1, Hendro di Rutan Polres Metro Jakarta Pusat, dan Hamdan di Rutan Polres Jakarta Timur.
"Dengan masih dibutuhkannya waktu pengumpulan alat bukti oleh tim penyidik," kata Ali.
KPK telah menetapkan Hakim nonaktif PN Surabaya Itong Isnaeni Hidayat (IHH) dan Panitera Pengganti pada PN Surabaya nonaktif Hamdan (HD) sebagai tersangka penerima.
Sementara tersangka pemberi adalah pengacara dan kuasa dari PT Soyu Giri Primedika (SGP) Hendro Kasiono (HK).
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan Itong selaku hakim tunggal pada PN Surabaya menyidangkan salah satu perkara permohonan terkait pembubaran PT Soyu Giri Primedika.
Adapun yang menjadi pengacara dan mewakili PT SGP adalah Hendro di mana diduga ada kesepakatan antara Hendro dengan pihak perwakilan PT SGP untuk menyiapkan sejumlah uang yang akan diberikan kepada hakim yang menangani perkara tersebut.
KPK menduga uang yang disiapkan untuk mengurus perkara ini sejumlah sekitar Rp1,3 miliar dimulai dari tingkat putusan Pengadilan Negeri sampai tingkat putusan Mahkamah Agung.
Sebagai langkah awal realisasi dari uang Rp1,3 miliar itu, Hendro menemui Hamdan dan meminta agar hakim yang menangani perkaranya bisa memutus sesuai dengan keinginan Hendro.
Untuk memastikan proses persidangan perkaranya berjalan sesuai harapan, Hendro diduga berulang kali menjalin komunikasi dengan Hamdan dengan menggunakan istilah "upeti" untuk menyamarkan maksud dari pemberian uang.