PMI Jadi Korban Kerja Paksa Selama 9 Tahun, Sang Majikan di Malaysia Diputus Bebas
Pengadilan Kota Bahru, Kelantan membebaskan seorang majikan Malaysia yang melakukan kerja paksa dan kekerasan fisik kepada PMI berinisial DB.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, KUALA LUMPUR - Seorang majikan Malaysia divonis bebas dari tuntutan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan kekerasan fisik yang dilakukan kepada pekerja migran Indonesia (PMI).
KBRI Kuala Lumpur dikejutkan dengan putusan Pengadilan Kota Bahru, Kelantan yang membebaskan seorang majikan Malaysia yang melakukan kerja paksa dan kekerasan fisik kepada PMI berinisial DB.
DB berasal dari Desa Bakuin Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Ia telah mengalami kerja paksa tanpa mendapatkan bayaran gaji selama 9 tahun lebih dan mengalami kekerasan fisik hingga pendengarannya terganggu.
"Selain bekerja di rumah majikan, DB juga dipekerjakan di bengkel mobil milik majikan," ungkap KBRI KL dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (20/2/2022).
DB melarikan diri dari rumah majikan pada akhir Oktober 2020 karena tidak tahan mengalami kerja paksa lebih dari 15 jam sehari tanpa hari libur dan kekerasan fisik.
Baca juga: Gaji 3 PMI Senilai Rp 579,7 Juta Berhasil Diselamatkan KJRI Jeddah dari Majikan di Arab Saudi
Berdasarkan laporan DB, majikan ditangkap oleh Dinas Tenaga Kerja Kelantan dan Polisi pada November 2020 dan diajukan ke Pengadilan dengan tuduhan melakukan TPPO disertai kerja paksa dan penganiayaan.
Berdasarkan informasi dari Dinas Tenaga Kerja Kelantan, pada 17 Januari 2022 Pengadilan Kota Bahru telah memutus bebas majikan dari semua tuduhan.
"Keputusan ini tentu sangat mengecewakan dan tidak memberi keadilan kepada korban kerja paksa dan kekerasan fisik selama bertahun-tahun," tegas Dubes Hermono.
KBRI Kuala Lumpur telah meminta Jaksa untuk mengajukan banding atas putusan tersebut.
Melalui pengacaranya, majikan DB pernah mengusulkan penyelesaian di luar persidangan dengan membayarkan gaji yang tidak dibayar.
Namun tawaran tersebut ditolak DB dan KBRI Kuala Lumpur karena jauh di bawah tuntutan gaji yang seharusnya dibayarkan majikan.
Sejalan dengan proses pengadilan pidana di tingkat banding, KBRI Kuala Lumpur telah menunjuk pengacara untuk menuntut majikan DB di peradilan perdata.
"Kami tidak hanya menuntut gaji yang tidak dibayar, tetapi juga bunga dan kompensasi. Ini penting untuk memberikan efek jera kepada majikan," tegas Hermono.
Kasus kerja paksa dalam bentuk tidak membayar gaji, penahanan dokumen, larangan berkomunikasi banyak dialami oleh PMI, tidak hanya di sektor rumah tangga, tetapi juga di sektor lain seperti perkebunan dan manufaktur.
Hermono menambahkan bahwa Malaysia sedang menjadi sorotan internasional karena dituduh melakukan praktik kerja paksa.
Beberapa perusahaan Malaysia bahkan dikenai sanksi ekspor ke Amerika Serikat akibat tuduhan kerja paksa ini.
Sesuai catatan KBRI Kuala Lumpur, selama 2021 KBRI berhasil mengembalikan hak gaji PMI sejumlah RM2,166,890.63 atau lebih dari Rp 7 miliar milik 206 PMI sektor rumah tangga.
Baca juga: Calon PMI asal Indramayu yang Tewas Tenggelam di Malaysia Tinggalkan Hutang Bank, Keluarga Bingung
Sementara untuk 2022 gaji 16 PMI yang berhasil diselamatkan mencapai RM 337.270.
Data ini belum termasuk penyelesaian kasus gaji oleh Konsulat Jenderal dan Konsulat Indonesia di Malaysia.
Hermono meyakini sebenarnya masih banyak PMI di Malaysia yang menjadi korban kerja paksa.
Masalahnya tidak semua PMI dapat melaporkan ke Kedutaan dengan berbagai alasan, seperti tidak diizinkan berkomunikasi dan ancaman ditangkap aparat karena tidak memiliki visa kerja yang sah.
"Praktik kerja paksa sudah berlangsung bertahun-tahun," tegas Hermono.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.