Wamenkumham Soroti Banyaknya Kasus Kekerasan Seksual Tak Sampai Pengadilan
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyoroti banyaknya kasus kekerasan seksual
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyoroti banyaknya kasus kekerasan seksual yang proses hukumnya tidak sampai ke pengadilan.
Ia menilai fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan yang harus diperhatikan.
Wamenkumham membeberkan, laporan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komnas Perempuan, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan ada sekitar 6.000 kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Namun, ia tidak menyebutkan spesifik pada periode kapan ribuan kasus tersebut terjadi.
Hanya saja, Edward menjelaskan dari ribuan kasus tersebut, tidak sampai 300 kasus yang diproses sampai ke pengadilan.
Dengan demikian, terdapat sekitar 5.700 kasus kekerasan seksual yang tidak sampai di proses ke pengadilan.
Untuk itu, Eddy Hiariej, sapaan Edward Omar Sharief Hiariej menilai ada yang salah dengan hukum acara di Indonesia.
Baca juga: Wamenkumham Sebut Restorative Justice Tak Berlaku untuk Kasus Pidana Kekerasan Seksual
“Berarti di bawah 5% (yang diproses ke pengadilan). Maka the big question, apa yang sebenarnya terjadi? Berarti kan ada something wrong, ada sesuatu yang salah dengan hukum acara kita sehingga itu tidak bisa diproses,” kata Edward saat jumpa pers di Gedung Ditjen Imigrasi, Jakarta, Selasa (22/2/2022).
Atas dasar itu, Eddy Hiariej menyampaikan rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) akan menitikberatkan pada hukum acara.
Ia menegaskan hukum acara di dalam RUU TPKS tersusun secara detail dan komprehensif.
Baca juga: Wamenkumham: RUU Narkotika Suatu Keniscayaan dalam Rangka Mengurangi Over Capacity Lapas
Edward memaparkan, satu saksi dengan alat bukti lainnya sudah cukup untuk memproses suatu kasus kekerasan seksual.
Kemudian, keterangan korban ditambah alat bukti lainnya sudah cukup.
Selanjutnya, keterangan korban yang merupakan seorang disabilitas memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti lainnya.
Wamenkumham berharap, RUU TPKS nantinya dapat mempermudah pengusutan suatu kasus kekerasan seksual.
Baca juga: Wamenkumham Pastikan RUU TPKS Tidak Akan Berbenturan dengan Undang-undang Lain
"Bahkan ada ketentuan dalam RUU (TPKS) itu bahwa penyidik wajib, jadi dia tidak boleh menolak perkara. Dia wajib memproses. Bahwa nanti tidak cukup bukti dan lain sebagainya itu different story," kata Edward.