Eks Hakim MK Sebut Penundaan Pemilu dan Perpanjang Masa Jabatan Cuma Cari Masalah, Ini Penjelasannya
Hamdan Zoelva menyatakan bahwa penundaan pemilu merampas hak rakyat, tak ada alasan moral, etik maupun demokrasi untuk menunda pemilu.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menyatakan bahwa penundaan pemilu merampas hak rakyat.
Tak ada alasan moral, etik maupun demokrasi untuk menunda pemilu.
"Dari segi alasan tidak ada alasan moral, etik dan demokrasi menunda pemilu," cuit Hamdan dalam akun Twitter pribadinya @hamdanzoelva, dikutip Sabtu (26/2/2022).
Hamdan Zoelva sudah mengizinkan isi cuitannya di Twitter pribadinya itu untuk dikutip.
Baca juga: Ketum Parpol Hembuskan Wacana Penundaan Pemilu, Muhammadiyah: Berpotensi Langgar Konstitusi
Hamdan kemudian menerangkan bahwa pemilu dilakukan 5 tahun sekali sebagaimana bunyi Pasal 22E UUD 1945.
Jika ditunda, maka bunyi undang - undang tersebut harus diubah, berdasarkan mekanisme Pasal 37 UUD 1945.
Tapi menurutnya penundaan pemilu sama saja dengan merampas hak rakyat untuk memilih pemimpinnya 5 tahun sekali.
Bila dipaksakan dan mayoritas MPR setuju, tak ada yang bisa menghambatnya.
"Tapi kakau dipaksakan dan kekuatan mayoritas MPR setuju, siapa yang dapat menghambat. Putusan MPR formal sah dan konstitusional. Soal legitimasi rakyat urusan lain," kata Hamdan.
Jika memang pemilu ditunda 1-2 tahun lagi, Hamdan bertanya siapa yang akan menjadi presiden, anggota kabinet, DPR, DDP dan DPRD di seluruh Indonesia.
Sebab, masa jabatan mereka semua akan berakhir pada September 2024.
Baca juga: Penundaan Pemilu 2024 Karena Alasan Covid-19 Tak Relevan
Terlebih dalam UUD 1945 tak dikenal istilah pejabat presiden. Pasal 8 UUD 1945 hanya mengatur jika presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan, maka pelaksana tugas kepresidenan diambil alih Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan.
Tetapi hal ini juga jadi masalah, lantaran jabatan Mendagri, Menlu, dan Menhan ikut tuntas dengan berhentinya masa jabatan presiden dan wakil presiden yang mengangkat mereka.
"Kecuali MPR menetapkannya lebih dahulu sebagai pelaksana tugas kepresidenan," ucap Hamdan.
Hamdan mengatakan berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, MPR dapat saja mengangkat presiden-wapres menggantikan presiden-wapres yang berhenti atau diberhentikan, sampai terpilihnya presiden dan wapres hasil pemilu.
MPR bisa memilih dan menetapkan salah satu dari dua pasangan calon presiden dan wapres yang diusulkan parpol atau gabungan parpol yang pasangan capresnya memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu.
"Dalam kondisi seperti ini siapa saja dapat diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol menjadi pasangan calon presiden dan wapres, tidak harus presiden yang sedang menjabat," terangnya.
Tetapi masalahnya tidak berhenti di situ, siapa yang memperpanjang masa jabatan anggota MPR (DPR-DPD) dan DPRD?
Padahal semuanya harus berakhir pada 2024, karena mereka mendapat mandat terpilih melalui pemilu.
Untuk keperluan tersebut, ketentuan UUD mengenai anggota MPR juga harus ikut diubah, yakni anggota MPR tanpa melalui pemilu dan dapat diperpanjang.
"Lalu, siapa yang perpanjang, juga jadi persoalan. Jika dipaksakan dapat dilakukan oleh presiden atas usul KPU. Tetapi sekali lagi UUD terkait anggota MPR harus diubah dulu," jelas Hamdan lagi.
Guna memuluskan skenario penundaan pemilu ini, dan memperpanjang masa jabatan, harus digelar sidang MPR untuk mengubah UUD 1945.
Dalam sidang, harus diputuskan MPR memberhentikan presiden-wapres saat ini, dan mengangakat presiden dan wapres baru sebelum masa jabatan mereka berakhir.
Tetapi kembali muncul pertanyaan, apa mungkin presiden diangkat kembali sebelum mereka berhenti secara bersamaan? Lantaran kata Hamdan, MPR hanya berwenang mengangkat presiden dan wapres jika presiden dan wapres yang menjabat secara bersamaan berhenti.
"Maka jalan keluarnya, berhentikan dulu presiden dan wapres sebelum masa jabatannya berakhir," jelas dia.
Baca juga: Yusril Pertanyakan Dasar Konstitusional Usulan Penundaan Pemilu 2024
Namun jika merujuk ketentuan UUD 1945, lanjutnya, tak ada dasar MPR begitu saja memberhentikan presiden dan wapres tanpa alasan. Kecuali, mereka berhenti bersamaan karena mengundurkan diri, berhenti atau diberhentikan karena melakukan pelanggaran hukum sebagaimana aturan Pasal 7B UUD 1945.
"Jadi persoalan begitu sangat rumit, maka jangan pikirkan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan itu, karena hanya cari-cari masalah yang menguras energi bangsa yang tidak perlu. Jalankan yang normal saja, negara aman-aman saja," pungkas Hamdan.