Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Aktivis: Indonesia Belum Memiliki Budaya Anti-kekerasan

Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Tahunan 2022 yang mendokumentasikan kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2021.

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Aktivis: Indonesia Belum Memiliki Budaya Anti-kekerasan
Tribunnews/Rahmat Patutie
Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Jentera, Asfinawati. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Tahunan 2022 yang mendokumentasikan kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2021.

Dalam catatan tahunan itu mengungkap 10 provinsi dengan angka kekerasan berbasis gender pada perempuan terbanyak.

Hal ini turut menjadi perhatian dari Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Jentera, Asfinawati.

"Terkait 10 provinsi tertinggi. Kita melihat ada linear antara 10 daerah tertinggi kasus dengan jumlah penduduk. Secara umum negara Indonesia belum memiliki budaya anti kekerasan," ungkap Asfinawati dalam acara launching Catatan Tahunan 2022 Komnas Perempuan secara virtual, Senin (7/3/2022).

Hal yang menarik bagi Asfinawati adalah tingkat pendidikan tidak berpengaruh seseorang tidak melakukan kekerasan perempuan.

Ini terlihat dari tingkat pendidikan di DKI Jakarta cukup tinggi, tetapi masuk dalam 10 besar dengan kekerasan berbasis gender pada perempuan terbanyak.

Baca juga: Catatan Tahunan Komnas Perempuan Ungkap 10 Kemajuan Kebijakan Perlindungan Terhadap Perempuan

Berita Rekomendasi

Di sisi lain, Asfinawati juga menanggapi Sumatera Barat dan yang jumlah penduduknya tidak terlalu besar tetapi masuk ke dalam 10 besar angka kekerasan berbasis gender pada perempuan terbanyak.

"Sumbar dan Sulsel daerah dengan jumlah penduduk tidak 10 besar. Kita penting mengaitkan tingginya data peraturan daerah, pengaturan moral yang diskriminatif," katanya.

Menurut Asfinawati aturan diskriminatif tidak menghentikan timbulnya kekerasan pada perempuan. Justru terkesan menyalahkan korban sehingga membuat banyak larangan.

"Maknanya pengaturan moralitas tidak menghormati perempuan. Tidak memiliki hubungan berkurangnya tingkat kekerasan. Selanjutnya tinggi dan rendah kekerasan mungkin berkaitan dengan kesadaran," kata Asfinawati.

Baca juga: Kasus Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan di Jabar Tertinggi, Begini Tanggapan Kang Emil

Mungin banyak orang yang tidak tahu jika dirinya mengalami kekerasan ekonomi.

Ia pun menyimpulkan secara umum penduduk Indonesia masih berkultur patriaki.

Kemudian Asfinawati menyebutkan masih buruknya pelayanan di kepolisian dan lembaga layanan publik, sehingga membuat korban enggan mengadukan.

"Misalnya mengalami kekerasan di tempat kerja yang ada di pemerintah, kalau lapor adakah perubahan? Belajar tidak ada perubahan malah dipecat dan intimidasi, malah tidak lapor," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas