Jaya Suprana Ajukan Judicial Review Soal Presidential Threshold Ke Mahkamah Konstitusi
Jaya mengatakan permohonan tersebut tidaklah berkaitan langsung dengan dirinya dalam konteks kepentingan politik.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Budayawan Jaya Suprana mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang (UU) terhadap pasal 222 UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) 20% ke Mahkamah Konsitusi (MK).
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar pada pada Selasa (8/3/2022), Jaya hadir secara daring sebagai prinsipal tanpa didampingi kuasa hukum.
Pada kesempatan yang diberikan oleh pimpinan Panel Hakim Konstitusi, Jaya mengungkapkan alasannya mengajukan permohonan tersebut.
Jaya mengatakan permohonan tersebut tidaklah berkaitan langsung dengan dirinya dalam konteks kepentingan politik.
Namun demikian, aturan tersebut menurutnya membatasi hak setiap warga negara Indonesia untuk maju mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden.
Warga negara yang dimaksud oleh Jaya adalah mereka yang memiliki potensi dan kemampuan namun tidak memiliki akses kepada partai politik dan tidak memiliki dana yang cukup.
Hal tersebut disampaikannya dalam sidang yang disiarkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Selasa (8/3/2022).
"Hanya memikirkan alangkah sayangnya apabila ada teman-teman saya yang mampu, saya tidak sebut nama, tapi yang menurut saya mampu dan mau menjadi capres tetapi mereka kehilangan haknya, kehilangan kesempatannya untuk maju sebagai capres karena tidak mungkin memenuhi syarat yang diajukan di dalam apa yang disebut sebagai Presidential Threshold," kata Jaya.
Baca juga: 6 Parpol Nonparlemen Bentuk Koalisi, Bakal Gugat Presidential Threshold ke MK
Dalam sidang tersebut Jaya tidak mengucapkan baik terkait kewenangan Mahkamah, legal standing, alasan permohonan, maupun petitum permohonan.
Namun demikian, dalam persidangan terungkap ada tiga poin petitum yang diajukannya.
Satu di antara petitum tersebut yakni agar norma pasal 222 UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dinyatakan bertentangan dengan pasal 6 ayat 2 dan pasal 6a UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Panel Hakim Konstitusi yang memimpin jalannya persidangan tersebut yakni Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, serta Manahan MP Sitompul.