Pemerintah Siapkan Roadmap Menuju Endemi, Masyarakat Diingatkan untuk Terbiasa Hidup dengan Prokes
Ada dua fase yang harus dilakukan sebelum menuju situasi endemi, yakni fase pengendalian pandemi, fase pra endemi dan testing serta tracing.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tren pertambahan kasus harian Covid-19 di Indonesia cenderung melandai akhir-akhir ini setelah sempat di atas 64.700 pada pertengahan Februari 2022 lalu.
Seiring dengan itu, pemerintah tengah menyiapkan sederet kebijakan masa transisi menuju endemi.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI terus mematangkan roadmap atau peta jalan masa transisi dari pandemi menuju endemi covid-19.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan ada dua fase yang harus dilakukan sebelum menuju situasi endemi, pertama, fase pengendalian pandemi.
Artinya, laju penularan atau reproduction number harus di bawah 1.
Kondisi laju penularan sangat rendah pernah dirasakan Indonesia dalam kurun waktu September hingga Desember 2021.
Kedua, yaitu fase pra endemi.
"Kita sedang menyusun roadmap menuju situasi endemi. Tentunya sebelum endemi tercapai, yang harus kita lakukan dua fase sebelumnya," kata Nadia dalam keterangan virtual yang dikutip, Rabu (9/3/2022).
Ia menjelaskan, untuk menuju endemi tentu ada indikator yang harus ditetapkan bersama para ahli kesehatan.
"Beberapa hal misalnya yang sudah menjadi pertimbangan, termasuk transmisi komunitas yang sudah ada pada level 1, kemudian cakupan vaksinasi minimal 70 persen," jelas Nadia.
Selain itu, indikator seperti testing serta tracing tentu harus sesuai standar yang ada.
"Yang pasti adalah laju penularan atau yang kita ukur dengan reproduction rate itu kurang dari 1 dalam kurun waktu tertentu. Jadi ini adalah beberapa hal, yang menjadi indikator kita dan dalam rangka menuju situasi endemi," tambahnya.
Perlu diketahui, endemi adalah penyakit yang muncul dan menjadi karakteristik di wilayah tertentu.
Penyakit ini akan selalu ada di daerah tersebut, namun dengan frekuensi atau jumlah kasus yang rendah.
Contoh penyakit endemi adalah demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia dan malaria di Papua.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito menjelaskan, penetapan status endemi merupakan otoritas badan kesehatan dunia (WHO) karena untuk merubah pandemi yang berdampak pada banyak negara diperlukan perbaikan kondisi kasus secara global.
"Ke depannya semoga masyarakat dunia semakin baik beradaptasi hidup berdampingan dengan Covid-19," kata Wiku.
"Saat berada dalam kondisi endemi, dapat diindikasikan dari jumlah kasus dan kematian yang rendah bahkan 0 dalam jangka waktu tertentu. Dan kondisi ini hanya dapat tercapai jika masyarakat secara kolektif menjalankan pengendalian Covid-19 dengan optimal," kata dia.
Baca juga: Covid-19 Melandai, Ini Peta Jalan Pandemi Menuju Endemi yang Disiapkan Pemerintah
Anggota Komisi IX DPR Edy Wuryanto juga mendesak pemerintah segera mengeluarkan skenario masa transisi dari pandemi menuju endemi.
"Apresiasi bagi pemerintah yang berhasil mengendalikan Omicron penyebab utama gelombang ketiga Covid-19, yang ditandai tren terus menurunnya laju reproduksi virus di delapan provinsi besar," kata Edy.
Dia menilai pemerintah telah berhasil mengendalikan dan menurunkan kecepatan penularan Covid-19.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay juga bersyukur gelombang ketiga varian Omicron di Tanah Air tidak sampai memporakporandakan pertahanan kesehatan sebagaimana terjadi pada gelombang kedua varian Delta.
"Kita juga mengapresiasi kinerja dari pemerintah yang selama ini sudah banyak berbuat melakukan antisipasi dalam rangka memutus mata rantai virus dan juga membumihanguskan Covid-19," kata Saleh.
Hal senada juga dikatakan oleh anggota Komisi IX DPR Saniatul Lativa.
"Kasus Omicron menurun tidak lepas dari sinergitas dan kerja sama semua pihak, termasuk peran serta masyarakat yang disiplin akan prokes dan bersedia untuk divaksin, sehingga Omicron bisa dikendalikan," kata dia.
Wanti-wanti Epidemiolog
Pakar Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan salah satu hal yang harus dipikirkan oleh pemerintah pada masa transisi menuju dari pandemi menuju endemi adalah soal biaya pengobatan pasien covid-19.
Jika sebelumnya pasien covid-19 biaya pengobatannya menjadi tanggungan pemerintah alias gratis, maka saat masa transisi menuju endemi perlu dipikirkan alternatif pembiayaan lainnya.
"Ada juga sistem yang dipikirkan bagaimana pemerintah menyiapkan di masa transisi ini yang tadinya untuk orang sakit (covid-19) ini aspek pembiayaan adanya orang sakit dalam pandemi kan ditanggung pemerintah, masa transisi ini harus disiapkan apakah BPJS Kesehatan, atau apakah ada mekansime lain seperti asuransi dan sebagainya. Lalu bagaimana dengan masyarakat miskin dan ini yang harus disiapkan di masa transisi," kata Dicky kepada Tribun.
Selain soal kesiapan alternatif pembiayaan pengobatan tersebut, Dicky juga menyebut beberapa hal yang harus dilakukan pada masa transisi.
Pertama soal cakupan vaksinasi yang memadai.
Untuk varian Omicron tahapan aman adalah 90 persen untuk dua dosis dan setidaknya 50 persen untuk tiga dosis.
Kedua mengenai indikator epidemiologi. Angka reproduksinya kalau bisa di bawah 1, lalu test positivity ratenya harus di bawah 1 persen.
"Kemudian jelas hunian rumah sakit harusnya enggak ada jika level aman atau kalaupun ada jumlah BOR di bawah 10 persen," ujarnya.
Baca juga: Transisi ke Endemi, Adakah Kemungkinan Bisa Lepas Masker? Ini Kata Kemenkes
Berikutnya angka kematian harusnya di bawah 1 persen atau setidaknya kasusnya di bawah 5 per 1 juta penduduk atau di masa transisi per 100 ribu penduduk.
Keempat mengenai kesiapan dari sisi individu atau masyarakat maupun lingkungan.
Bagaimana indvidu dan masyarakat harus terbiasa dengan yang namanya personal protect seperti masker, cuci tangan, jika demam atau batuk tidak kerja seharusnya pola pikir itu harus terbangun.
"Harus adaptasi dengan budaya baru harus ada literasi, sadar jika ada teman positif(covid-19) melakukan kontak harus menyadari segera isolasi mandiri," ujar Dicky.
Kemudian juga dengan sistem lingkungan dalam artian fisik bangunan, sanitasi lingkungan kantor, gedung, rumah sekaligus kualitas udara indoor dengan ventilasi yang baik.
"Gedung perkantoran AC harus hepa filter ada pertukaran udara luar dan dalam ini kan penyakit (covid-19) menular via udara dan era transisi kita harus siapkan itu," ujar Dicky.
Wait and See
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Maruf mengatakan, pihaknya belum memiliki gambaran pasti terkait pembiayaan pasien Covid-19 masa endemi, termasuk kemungkinan pembiayaan pasien ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan masih Wait and See.
"Kita tentu mesti bersyukur kalau pandemi Covid-19 ini berakhir. BPJS Kesehatan tentu berkomitmen untuk menjalankan tugas yang diberikan pemerintah dengan sebaik-baiknya," kata dia.
Saat ketidakpastiaan pandemi ini kapan akan berakhir, BPJS Kesehatan terus berupaya memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh peserta dan masyarakat Indonesia.
Sebelumnya akhir tahun 2021 lalu, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti mengatakan, pembahasaan terkait pembiayaan pasien belum banyak dibahas.
Namun pihaknya menerima terbuka jika hal itu akan dibahas bersama pemerintah.
"Dengan senang hati akan kita bahas nanti," tuturnya.(Tribun Network/rin/wly)