Bisakah Uang Duka Menggugurkan Tindak Pidana?
Secara hukum, jajaran kepolisian Polda Jabar dan Ciamis sudah benar menaikkan status penyelidikan ke penyidikan.
Editor: cecep burdansyah
Oleh: Cecep Burdansyah
Jurnalis/Analis Hukum
DUA pengendara Harley Davidson yang menabrak dua anak kembar, Hasan Firdaus dan Husen Firdaus di Kalipucang, Pangandaran, akhirnya ditetapkan jadi tersangka. Menurut kabar, keduanya kini ditahan di Mapolres Ciamis.
Secara hukum, jajaran kepolisian Polda Jabar dan Ciamis sudah benar menaikkan status penyelidikan ke penyidikan.
Padahal sebelumnya, begitu kejadian, pihak pengendara dan keluarga korban sudah bertemu dan melakukan kesepakatan untuk berujung damai. Pihak pengendara, sebagaimana diberitakan media, memberikan uang duka atau santunan sebesar Rp 50 juta.
Dalam pertemuan antara penabrak dan keluarga korban, yang diwakili Iwa Kartiwa, tercatat empat poin kesepakatan.
Pertama, kedua pihak menerima kejadian tersebut sebagai musibah. Kedua, pihak penabrak memberikan uang santunan sebesar Rp 50 juta. Ketiga, kedua pihak sepakat masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan. Keempat, apabila di kemudian hari ada pihak yang mempermasalahkan kejadian tersebut, kedua pihak sepakat mengesampingkan.
Untuk memahami konteks peristiwa ini, dan apa alasan polisi tetap membawa masalah ini ke ranah hukum, memang harus dilihat dari perspektif hukum, terutama hukum pidana. Apakah kesepakatan antara keluarga korban dan penabrak itu sah atau tidak?
Dalam perspektif hukum pidana, tidak dikenal penyelesaian kekeluargaan atau penyelesaian damai. Penyelesaian damai atau kesepakatan kekeluargaan hanya dikenal dalam hukum perdata, hukum waris, hukum adat dan itu pun baru memiliki kekuatan hukum tetap apabila memenuhi syarat. Misalnya, para pihak yang melakukan kesepakatan tidak di bawah tekanan, atau memiliki kecakapan hukum.
Untuk mencari solusi win-win solution, dalam hukum pidana hanya dikenal restorative justice. Istilah ini tujuannya untuk mencari penyelesaian hukum demi kepentingan dua pihak, yaitu pelaku dan korban. Penengahnya harus penegak hukum, dari kepolisian atau kejaksaan.
Tapi, penyelesaian restorative justice pun hanya berlaku pada hukum pidana yang sifatnya ringan dan tidak menimbulkan korban nyawa. Contoh, kasus kekerasan yang dialami seorang anak oleh ibunya di Demak, berakhir damai karena memang tidak menimbulkan luka berat apalagi hilangnya nyawa. Penyelesaian ini ditengahi pihak kejaksaan.
Dalam kasus pidana yang menelan korban nyawa, meskipun kedua pihak bersepakat kekeluargaan, maka urusannya sudah bukan lagi antara pelaku dan korban. Kalau sudah menelan korban nyawa, dipastikan ada pelanggaran pidana, dan itu artinya ada kepentingan publik, di mana negara mutlak harus hadir. Hukum pidana sudah menyangkut hukum publik.
Dalam konteks inilah, Polres Ciamis dan Polda Jabar sudah menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum dengan baik. Polisi sebagai perpanjangan negara, telah hadir mengambil alih proses hukum antara penabrak dan korban. Publik wajib mengawal proses ini seperti kasus Kolonel Priyanto yang menabrak dua remaja di Nagreg.
Pelaku tidak bisa berdalih bahwa keluarga korban sudah sepakat tertulis penyelesaian berakhir damai, karena ada UU Pidana yang dilanggar, yaitu UU No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan, sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat 4, yang berbunyi:
“Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Dalam UU Lalu-lintas, disebutkan bahwa ada tiga kategori kecelakaan, yaitu ringan, sedang dan berat (Pasal 229 ayat 1huruf a,b. c). Dalam ayat 4 kemudian disebutkan, kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
Dengan hukum tertulis tersebut, dalam hal pelanggaran lalu-lintas kategori berat yang menelan korban nyawa, penyelesaiannya mutlak memerlukan kehadiran negara. Dalam hal ini, polisi tidak perlu mematuhi kesepakatan kedua pihak antara pelaku dan keluarga korban. Justru sebaliknya, pelaku dan keluarga korban harus tunduk pada hukum.
Kehadiran negara perlu demi tegaknya hukum. Sebab, dalam pasal 106 ayat (1) disebutkan, “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi”.
Lalu ayat (2) berbunyi, “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda.”
Musibah memang tidak ada yang tahu dan semua orang tidak menginginkan musibah terjadi. Namun, kehati-hatian menjadi syarat mutlak dalam berlalu-lintas.
Bagaimana pun, pengendara dituntut konsentrasi penuh dalam menjalankan kendaraannya, apalagi di depan ada dua anak kecil (kembar) usia delapan tahun sedang menyebrang.
Maka, sudah sepantasnya penyebrang jalan, apalagi masih bocah, mendapat perhatian penuh dari sang pengendara demi keselamatann nyawanya.
Ada pun menyangkut uang duka atau santunan, merupakan sisi kemanusiaan dari sang pelaku terhadap keluarga korban. Memberi uang duka, menunjukkan empati pada keluarga korban yang sekaligus pelaku tidak memiliki unsur kesengajaan.
Tapi, sekali lagi, uang duka tidak menggugurkan Pasal 310 ayat (4) UU No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan. Empati ini hanya akan menjadi pertimbangan hakim dalam memperingan hukuman.
Yang juga perlu diperhatikan, kesepakatan antara pengendara Harley Davidson dan pihak keluarga korban, yang diwakili Iwa Kartiwa, secara hukum tidak mengikat. Pertama, seperti dikatatan di atas, dalam hukum pidana tak dikenal kesepakatan damai kecuali restorative justice. Kedua, hubungan antara Iwa Kartiwa dan korban bukan hubungan anak dan orangtua. Jadi secara hukum tidak bisa mewakili kepentingan keluarga korban.*