Guru Harus Tetap Terdepan di Tengah Tantangan Dunia Pendidikan
Ary Ginanjar mengatakan, peran guru harus tetap terdepan di tengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang terus mengalami peningkatan.
Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Founder Emotional and Spiritual Quotient (ESQ), Ary Ginanjar mengatakan, peran guru harus tetap terdepan di tengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang terus mengalami peningkatan.
Teknologi yang makin canggih, para siswa bisa belajar darimana saja termasuk internet.
Hal itu ia sampaikan pada Konferensi Kerja Nasional III Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) 2022 serta penandatanganan nota kesepahaman atau memorandum of understanding/MoU antara ESQ Leadership Centre di Jogjakarta dengan mengusung tema 'Bangkit Guruku, Maju Negeriku, Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh', Senin (21/3/2022).
Pada acara tersebut, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim yang menyampaikan sambutannya dalam video virtual mengajak para guru yang tergabung dalam PGRI menyatukan langkah bersama, bergerak serentak mewujudkan merdeka belajar.
Selanjutnya Ary Ginanjar memaparkan tantangan yang dihadapi para guru di era digital saat ini.
“Luar biasa para guru sekarang menghadapi tantangan yang disebut dengan VUCA Era yaitu semua berubah dengan cepat (volatility), semua uncertainty (tidak ada kepastian), semua serba kompleks-complexity dan serba ambigu - ambiguity. Kemudian saat yang bersamaan, murid-murid tidak seperti dulu," ujar Ary dalam keterangan yang diterima, Rabu (23/3/2022).
Menurutnya, semua mata kuliah sudah ada di internet. Sebelum guru mengajar, murid sudah mengetahuinya dari internet.
Kemudian, lanjutnya, ada orang yang hanya lulus SMP sudah bisa bikin pesawat terbang tanpa harus jadi sarjana, sehingga profesi guru terancam. Belum lagi dengan robotisasi.
"Mau belajar apa saja, klik ada semua mata kuliah. Sebelum bapak ibu mengajar, murid bisa lebih pintar dari kita. Belum lagi tantangan ke depan, kalau tidak seperti ini, maka kita akan punya ancaman ke depan," jelas Ary.
Baca juga: Perguruan Tinggi Manfaatkan Teknologi Metaverse untuk Perkuliahan
"Profesi guru tentu di dalam pertanyaan. Tidak hari ini karena mungkin sekarang masih banyak pengetahuan yang tidak diketahui lagi oleh anak didik kita. Tapi 10-20 tahun lagi mana yang lebih pintar untuk pengetahuan? guru atau anak-anak milenial ke depan atau Gen Z," tambahnya.
Untuk itu, lanjutnya, guru harus bisa menghadapi situasi di mana pendidikan harus memiliki kreativitas, inovasi dan kritis. Belum lagi guru dituntut untuk secara holistik mengajarkan ilmu pengetahuan dan mempertahankan guru tetap terdepan.
“Nanti ada menteri lagi akan ganti kurikulum, mata kuliah juga akan berganti-ganti dan apa yang diajarkan hari ini belum tentu bisa dipakai ke depan, yang dipakai ke depan belum tentu lagi dipakai ke depan. Lalu kita ngajar apa? Profesi PGRI seperti apa? Bisa-bisa kita ditertawakan oleh murid-murid yang sekarang Gen X dan Gen Y," ungkap Ary.
"Kita tidak bisa lagi directive mengajar kepada anak-anak. Anak-anak kita harus dilakukan apa yang disebut enabling. Enabling adalah pemberdayaan. Itulah mugkin konsep dasar yang disebut dengan merdeka belajar. Tetapi tidak cukup hanya dengan kurikulum dalam merdeka belajar. Tetapi cara guru mengajar atau metodologi guru, itu kuncinya," sambungnya.
Menurutnya hal itu seperti pepatah yang mengatakan kurikulum materi itu bagus, tetapi lebih penting lagi adalah metodologi.
Metodologi itu bagus, namun yang lebih penting adalah jiwa sang guru, spirit sang guru itu jauh lebih penting.
"Kita harus bisa mentransformasi metodologi pendidikan kita. Tidak bisa lagi kita hanya directive, instruktif dan teaching. Mengapa? Karena sudah ada semua di internet," ucap Ary.
Ia menegaskan jangan lagi memakai cara mengajar dengan outside-in yaitu memberikan materi kepada murid, lalu diminta murid menghafal dan menguasai.
Ke depan tidak cukup seperti itu, tapi yang harus dilakukan adalah enabling yaitu transformasi.
"Jadi transformasi bukan hanya kepada materi dan bukan hanya kurikulum, tapi transformasi kepada metodologi belajar. Di mana guru punya kompetensi dan kemampuan luar biasa. 10 menit sampai 15 menit ketemu guru maka orang akan terinspirasi. Inilah yang disebut enabling," lugasnya.
Baca juga: Basarah: Guru Dayah Ujung Tombak Pembentukan Karakter Santri Pancasilais
Pertanyaannya adalah apakah metode itu? tanya Ary, metodenya unik. Bukan mengajari tapi justru bertanya. Bertanya apa yang anda baca, kemudian apa yang anda ingin wujudkan, seperti apa harapannya. Inilah yang disebut metode Coaching 3.0 yaitu coaching yang akan mengembangkan IQ saja tapi juga EQ kecerdasan emosional juga SQ kecerdasan spiritual.
"Maka dengan cara seperti itu, mau ada apapun modul yang ada di komputer, kita siap untuk terdepan karena kita siap untuk menchallenge mereka. Guru akan menjadi seorang challenger. Maka dengan cara seperti itu, insya Allah guru akan tetap terdepan," pungkasnya.
Dalam acara itu, Pengurus Besar PGRI menandatngani MoU dengan ESQ Group. Penandatanganan komitmen dan kesepakatan kedua belah pihak ini dilakukan oleh Unifah Rosyidi selaku Ketua Umum PB PGRI dan Ary Ginanjar Agustian selaku pimpinan ESQ Leadership Centre.
MoU ini bertujuan untuk pembangunan karakter, atau Emotional Spiritual Quotient kepada pengurus dan anggota PGRI.
“Pak Ary ini jagonya mengisi hati orang–orang seluruh Indonesia termasuk para guru, kita akan berkolaborasi bersama untuk mengisi hati kita supaya tetap hidup semangat penuh kasih sayang dan memajukan pendidikan di Indonesia. Serta mewujudkan Indonesia Emas 2045,“ kata Unifah.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.