Bupati Nonaktif Hulu Sungai Utara Abdul Wahid Segera Disidang di PN Banjarmasin
Abdul Wahid segera diadili atas kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) pada 2021 sampai 2022, gratifikasi,
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan berkas perkara Bupati nonaktif Hulu Sungai Utara, Abdul Wahid, ke Pengadilan Tipikor pada PN Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Selasa (29/3/2022).
Abdul Wahid segera diadili atas kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) pada 2021 sampai 2022, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Jaksa KPK Titto Jaelani telah selesai melimpahkan berkas perkara terdakwa Abdul Wahid ke Pengadilan Tipikor pada PN Banjarmasin," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa.
Atas pelimpahan itu, penahanan Abdul Wahid telah beralih menjadi kewenangan Pengadilan Tipikor pada PN Banjarmasin.
"Selanjutnya tim jaksa akan menunggu jadwal persidangan berupa penetapan hari sidang dan penetapan penunjukkan majelis hakim," kata Ali.
Abdul Wahid bakal didakwa dengan Pasal 12 huruf a UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP; Pasal 12B UU Tipikor Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP; dan Pasal 3 UU TPPU Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP atau Pasal 4 UU TPPU Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Baca juga: Berkas Perkara Bupati Nonaktif Hulu Sungai Utara Abdul Wahid P21
Sebelumnya, KPK mengembangkan kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara pada 2021 sampai 2022.
Bupati nonaktif HSU Abdul Wahid kembali ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Dalam perkara suap, KPK menduga Abdul Wahid menerima uang senilai Rp500 juta dari Direktur CV Hanamas Marhaini dan Direktur CV Kalpataru Fachriadi melalui perantaraan Plt Kepala Dinas PU pada Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara Maliki.
Pemberian uang itu diduga merupakan komitmen fee sebesar 10 persen dari nilai proyek yang menjadi syarat pemenangan perusahaan Marhaini dan Fachriadi pada paket pekerjaan lelang pada Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara tahun 2021. Maliki diduga turut menerima fee sebesar 5 persen dari nilai proyek.
Selain itu, KPK juga menduga Abdul Wahid menerima uang senilai total Rp18,4 miliar selama kurun 2018-2019 dari sejumlah proyek lain di Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara melalui perantaraan pihak-pihak tertentu.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.