Cara Menentukan Fee Legal Advokat, Berdasarkan Tingkat Kerumitan Perkara hingga Kondisi Klien
Saat awal berkarir menjadi seorang advokat, menentukan legal fee yang pantas diajukan kepada klien untuk menangani suatu perkara bukanlah hal yang mud
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat awal berkarir menjadi seorang Advokat, menentukan legal fee yang pantas diajukan kepada klien untuk menangani suatu perkara bukanlah hal yang mudah.
Pasalnya, bila salah-salah nantinya malah akan membuat klien menjadi batal menggunakan jasa si Advokat tersebut. Hal tersebut merupakan satu diantara persoalan yang dihadapi oleh advokat pemula.
Berbagai persoalan mendasar yang biasanya banyak dihadapi Advokat pemula itu dibahas dalam ngabuburit DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar) secara daring bertajuk “Career Guidance for Lawyers”, Rabu (20/4/2022).
Acara yang dibuka oleh Ketua DPC Peradi Jakbar, Suhendra Asido Hutabarat, tersebut menghadirkan dua advokat, yakni Erdi Sutanto selaku Founder & Managing Partner Erdi Sutanto & Co dan Riyo Hanggoro Prasetyo, Founder RHP Law & IP Firm serta Ketua Bidang Studi Hukum Bisnis Universitas Podomoro.
Erdi menceritakan, penentuan legal fee tergantung kondisi alias tidak bisa dipatok sama rata.
Baca juga: 211 Orang Ikuti PKPA Angkatan VI, Para Peserta Diharapkan Jadi Advokat yang Profesional
Dikatakannya, harus dilakukan pendekatan dan jangan langsung menyampaikan nominal tertentu.
Pasalnya, sebelum mengetahui tingkat kerumitan perkara, kondisi klien, dan berbagai hal lainnya, itu bisa membuat klien langsung mundur.
“Klien nanya tarif, begitu kita kasih, klien besoknya tidak telepon lagi. Ada seperti itu, kita harus pintar-pintar cari itu, atau bisa kita kasusnya agak besar, pancingan dulu. Kita taktiknya enggak langsung hantam. Kalau ditanya itu, saya jawabnya relatif. Masing-masing advokat tentunya punya feeling,” katanya.
Ia menuturkan, penawaran tarif yang relatif mahal karena advokat itu misalnya kantor dan mobilnya mewah serta penampilannya glamor, tentunya klien tidak memandang demikian, karena yang dinilai adalah kemampuan atau kualitasnya.
“Tarif yang mahal, sekarang itu agak sulit karena persaingannya ketat, meskipun berdasarkan rasio Indonesia ini butuh 500 ribu advokat. Sekarang advokat itu banyak di Pulau Jawa, terutama DKI. Nah, itu harus hati-hati masarin,” ujarnya.
Sementara itu, Riyo mengatakan, tarif yang diajukan harus logis atau masuk akal bagi klien. Ia menceritakan, kalau di kantor hukum asing dan kliennya warga negara atau perusahaan asing, mereka lebih suka hitungan per jam. Misalnya, sekian dolar per jam.
“Klien asing lebih menyukainya karena buat mereka lebih transparan, tetapi tidak bisa seenak dirinya, misal 10 jam per hari. Itu akan dinilai oleh kliennya. Itu pengalaman saya saat di law firm asing,” tuturnya.
Untuk memberlakukan skema ini di law firm dan klien lokal, hal tersebut tampaknya tidak mudah. Sedangkan berapa angka yang pas, Riyo juga menyampaikan harus melihat berbagai variabel, di antaranya menilai kemampuan diri, kerumitan perkara, jangka waktu, serta lakukan survei harga pasar.
“Jadi ngobrol saja dahulu, cari ancer-ancer. Survei pasar supaya fee yang rancang untuk klien yang kita itung dengan menilai diri kita itu juga ternya masih masuk di harga pasar,” ucapnya.
Riyo mengatakan, kalau bisa membuat penawaran seperti itu, menurutnya akan efektif. “Pertama, menilai diri sendiri. Kedua, membuat penawaran dari survei sehingga kita tahu kira-kira ini masuk akal atau tidak,” ujarnya.