Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pelabelan BPA Pada Galon AMDK Diklaim Matikan Industri, Akademisi UI: Tidak Benar!

BPOM telah memberikan waktu tiga tahun bagi produsen AMDK untuk berbenah dan mempersiapkan diri sebelum aturan itu berlaku penuh.

Penulis: Nurfina Fitri Melina
Editor: Bardjan
zoom-in Pelabelan BPA Pada Galon AMDK Diklaim Matikan Industri, Akademisi UI: Tidak Benar!
Shutterstock
Ilustrasi galon guna ulang. 

TRIBUNNEWS.COM - Rancangan peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan–yang mengharuskan produsen mencantumkan label "Berpotensi Mengandung BPA" pada galon polikarbonat–diklaim sebagai “vonis mati” bagi industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).

Namun, peneliti dan akademisi Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia, Ima Mayasari, dengan tegas menyatakan kekhawatiran asosiasi pelaku industri AMDK itu berlebihan dan tidak benar.

Pasalnya, BPOM juga memberikan waktu tiga tahun bagi produsen AMDK untuk berbenah dan mempersiapkan diri sebelum aturan itu berlaku penuh.

“Saya langsung jawab dengan tegas bahwa hal itu tidak akan memvonis mati. Karena sebuah peraturan itu pasti akan ada waktu untuk melakukan penyesuaian,” jelas Ima dalam Webinar FMCG Insights Talk dengan tema "Pelabelan BPA: Menuju Masyarakat Sehat dengan Pasar Sehat", Kamis (21/4/2022).

Ima melanjutkan, “BPOM dalam menyusun kebijakan ini juga mempertimbangkan bagaimana kelanjutan dari industri ini, tidak langsung mematikan begitu saja, karena ada rentang penyesuaian selama tiga tahun setelah peraturan diundangkan.”

Tiga pasal baru yang disisipkan BPOM dalam revisi rancangan Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan justru dinilai toleran dan membuka kesempatan bagi industri untuk terus tumbuh dan berbenah demi melindungi konsumen.

Sebagai informasi, memang benar jika BPOM sebelumnya menyatakan dalam lima tahun terakhir sejak 2016,  galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat masih berada di level yang aman, atau di bawah ambang batas berbahaya.

Berita Rekomendasi

Akan tetapi, per akhir Januari 2022, untuk pertama kalinya BPOM mengeluarkan peringatan adanya kecenderungan yang mengkhawatirkan pada level BPA pada galon guna ulang polikarbonat.

Pertimbangan risiko kesehatan yang ditimbulkan tersebut mendorong beberapa pihak untuk mendesak pemerintah segera menetapkan kebijakan pelabelan BPA pada kemasan.

BPOM juga diharapkan dapat memberikan edukasi dan sosialisasi terhadap bahaya BPA ke masyarakat.

Regulasi pelabelan BPA semata hanya untuk lindungi konsumen

Rancangan peraturan Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, menurut Ima, telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yakni agar teredukasi soal toksisitas BPA, yang mana berkaitan dengan keamanan pangan dan perlindungan konsumen.

“BPOM ingin memperbaiki regulasi yang sudah ada, terutama ingin memberikan perlindungan konsumen yang berkaitan dengan keamanan pangan, dalam hal ini pelabelan BPA,” ujar Mayasari.

Ima mengapresiasi langkah BPOM yang telah melakukan kajian-kajian secara literatur ilmiah serta pengecekan di laboratorium terkait dengan paparan BPA dan kemudian mengkaji dari regulasi yang sudah diimplementasikan di luar negeri.

Dengan kata lain, regulasi BPOM tersebut hadir dengan evidence based policy making dan stakeholders engagement yang kuat.

"Pemerintah harus mampu melihat perkembangan kebutuhan masyarakat dan referensi kebijakan yang ada di tataran internasional (international best practice) dan melakukan benchmark pengaturan kemasan pangan untuk melindungi kesehatan masyarakat," imbuhnya.

Sementara itu, melihat draf rancangan BPOM yang masih diproses hingga saat ini, Ima berpesan agar BPOM terus mengawal peraturan tersebut. Pengawasan dan pendekatan berbasis risiko sangat penting.

Ia juga mengharapkan tidak adanya pertentangan antarsektor, karena regulasi ini nantinya akan melindungi kepentingan masyarakat dan kepentingan swasta.

“Penting adanya sebuah pengawasan dan pendekatan berbasis risiko oleh pemerintah, karena sekarang ini pemerintah mengadaptasi di dalam perizinan itu berbasis risiko. Harusnya regulasi disusun dengan mengedepankan pertimbanga terkait dengan risiko, kalau ini diatur risikonya apa, kalau tidak risikonya apa," tambahnya.

Terakhir, ia menambahkan, sudah ada mekanisme bagi pihak yang keberatan dengan adanya kebijakan ini, terutama pelaku industri AMDK. Sehingga jika ada pihak yang mengeluhkan regulasi tersebut, mereka bisa menggunakan saluran mekanisme yang sudah ada.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas