Akademisi: Perpanjangan Masa Jabatan Berarti Mengingkari Asas Akuntabilitas dan Periodik
Akademisi, Ramlan Surbakti menjelaskan jika masa jabatan pemerintahan diperpanjang, sama saja berarti mengingkari asas akuntabilitas dan periodik.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Akademisi, Ramlan Surbakti menjelaskan jika masa jabatan pemerintahan diperpanjang, sama saja berarti mengingkari asas akuntabilitas dan periodik.
“Dalam Undang-undang Dasar (UUD) tidak ada asas periodik, adanya lima tahun sekali. Kalau lima tahun sekali itu seolah-olah hanya masa jabatan saja. Padahal periodik lebih dari sekadar itu,” jelas Ramlan.
Lebih lanjut, disampaikan Perintis Jurusan Ilmu Politik Fisip Universitas Airlangga ini berdasar dokumen PBB mengenai asas pemilu, yang paling pertama disebutkan adalah genuine election dan periodik.
Periodik berarti jabatan publik yang dipilih memiliki masa jabatan dan tidak seumur hidup.
Baca juga: Survei Populi Center: 64,4 Persen Responden Tolak Usulan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
“Si (penjabat publik) bisa dipilih kembali, tapi accountability itu tidak tampak kalau hanya lima sepuluh tahun sekali. Jadi perodik itu harus ada accountability. Akhir masa jabatan, anda harus pertanggungjawabkan. Kalau anda mau maju lagi, anda akan dievaluasi oleh rakyat. Itu artinya periodik,” tuturnya saat menjadi pembicara pada kegiatan yang dilakukan oleh Populi Center, bertajuk Rilis Survei - Peta Politik Menjelang Pemilu Serentak 2024, di kanal YouTube Populi Center Channel, Minggu (24/4/2022).
Ramlan sendiri mengambil sikap menolak adanyan perpanjangan masa jabatan ini.
"Terus terang para akademisi, termasuk saya menolak," tegasnya.
Sebelumnya, Populi Center menampilkan data survei sebanyak 64,4 persen masyarakat tidak setuju untuk perpanjangan jabatan tiga periode Jokowi.
Baca juga: Ketua KPU: Ketidakserentakan Habisnya Masa Jabatan Penyelenggara Daerah Masih Jadi Masalah Lama
Sedangkan 27,6 persen menyatakan setuju atas usulan tersebut. Sisanya tercatat 8 persen responden yang menolak menjawab.
Survei diambil dari 21 hingga 29 Maret 2022. Terdiri dari 1200 responden dalam 120 kelurahan yang tersebar di 34 provinsi. Tiap satu kelurahan ada 10 responden yang tersebar dalam dua RT. Masing-masing RT terdiri dari 5 responden.