Pengamat Soroti Urgensi, Prosedur, dan Kepatutan Soal Perwira TNI Aktif Jabat Pj Bupati Seram Barat
Terkait urgensi, menurut Fahmi BIN adalah lembaga sipil yang sesuai ketentuan perundangan, memang boleh diisi personel TNI/Polri.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyoroti urgensi, prosedur, dan kepatutan terkait penunjukkan Kepala BIN Daerah (Kabinda) Sulteng Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin sebagai Penjabat (Pj) Bupati Seram Bagian Barat Provinsi Maluku.
Diketahui, penunjukkan Andi didasarkan pada Keputusan Mendagri Nomor 113.81-1164 tahun 2022 tentang Pengangkatan Pj Bupati Seram Bagian Barat, Maluku.
Terkait urgensi, menurut Fahmi BIN adalah lembaga sipil yang sesuai ketentuan perundangan, memang boleh diisi personel TNI/Polri.
Baca juga: Kontras Kritik Keras Penunjukan Perwira TNI Aktif Jadi Pj Bupati Seram Barat
Ketika para personel BIN juga diproyeksikan untuk isi pejabat kepala daerah, ia mengaku sudah menduga jika hal tersebut bisa jadi salah satu pintu masuk bagi perwira TNI-Polri.
Menurutnya, itu karena akan sulit mendapatkan personel PNS BIN yang memenuhi syarat dan layak meski secara kepangkatan mungkin banyak yang memenuhi syarat.
Namun demikian, kata dia, sebagian besar mereka adalah pejabat fungsional yang tak punya pengalaman mengelola birokrasi seperti halnya guru PNS, tenaga medis, peneliti itu.
Di sisi lain, penjabat kepala daerah, kata dia, memiliki tugas utama mengelola administrasi pemerintahan hingga ada yang pejabat definitif.
Oleh karena itu, lanjut dia, syarat pengisiannya adalah PNS dengan kriteria tertentu misalnya sudah pernah mengikuti Diklatpim 2.
Masalahnya, lanjut Fahmi, di 10 tahun terakhir sangat sedikit posisi jabatan pimpinan tinggi madya dan pratama (Deputi dan Direktur/Kabinda) di BIN yang diisi oleh PNS.
Sehingga, kata dia, dapat diasumsikan kalau yang memenuhi kriteria juga sangat sedikit.
Baca juga: Polemik Brigjen TNI Andi Chandra Ditunjuk Jadi Pj Bupati Seram Barat, Ini Pendapat Mahfud MD & MAS
Oleh karena hal tersebut tidak terpenuhi, lanjut Fahmi, akhirnya ada alasan mengusulkan para perwira TNI yang sedang bertugas di BIN itu untuk mengisi "slot/kuota" BIN dalam pengisian pejabat-pejabat kepala daerah.
Apalagi, kata Fahmi, mindset yang dibangun dalam pengisian penjabat kepala daerah juga soal pertimbangan kerawanan baik dari sisi keamanan daerah maupun keamanan penyelenggaraan pemilu.
Menurutnya hal tersebut sering dikritik karena basis argumennya lemah, misalnya dengan mencontohkan Papua Barat.
Faktanya, lanjut dia, gubernur definitif sebelumnya berasal dari kalangan sipil dan oke-oke saja menjabat lima tahun.
Ia pun mempertanyakan mengapa ketika diganti penjabat gubernur, yang harus mengisi harus berlatar belakang Polri.
"Kalaupun toh harus diisi dari BIN, apa urgensinya seorang Kepala BIN Daerah Sulawesi Tengah ditunjuk menjadi penjabat Bupati di Seram Barat, yang notabene jauh dari wilayah penugasan definitifnya? Mengapa tidak mengambil dari pejabat pimpinan tinggi pratama lainnya yang bertugas di Jakarta?" kata Fahmi ketika dihubungi Tribunnews.com pada Kamis (26/5/2022).
Terkait isu prosedural, menurutnya perlu ditelaah juga apakah pengangkatan tersebut sudah sesuai prosedur atau tidak.
Mengambil contoh penunjukan Tanribali Lamo menjadi pejabat Gubernur Sulsel, menurutnya, Brigjen TNI Andi Chandra harus alih status terlebih dulu dari Perwira Tinggi TNI yang ditugaskan di BIN menjadi PNS BIN dengan jabatan Kabinda Sulteng.
Setelah itu, kata dia, baru penunjukkan Andi boleh di-SK-kan sebagai penjabat bupati dan dilantik.
"Kalau belum beres udah dilantik, itu potensi maladministrasi. Juga harus kita lihat, Panglima TNI keluarkan keputusan terkait nggak? Karena dia alihstatus menjadi PNS, mestinya harus dikeluarkan juga dari formasi TNI," kata Fahmi.
Terkait isu kepatutan, lanjut dia, bagaimanapun publik juga masih sulit untuk yakin bahwa pelibatan TNI dan Polri ini selalu didasarkan pada niat baik rezim yang berkuasa.
Apalagi, kata dia, tak ada regulasi yang mengatur pelibatan tersebut secara ketat dan tegas.
Sementara itu, menurutnya rezim sebaik apapun, lanjut dia, usianya paling lama 10 tahun.
Ia berpandangan tidak cukup menggunakan ketentuan-ketentuan terkait mekanisme pengisian jabatan pimpinan tinggi aparatur sipil negara yang tersedia saat ini.
Kedudukan Penjabat Kepala Daerah tersebut bukanlah sekadar jabatan pimpinan tinggi madya atau pratama biasa.
Kedudukan mereka, lanjut dia, bisa dibilang nyaris setara dengan kepala daerah definitif yang oleh konstitusi diatur mekanisme pengisiannya harus melalui proses pemilihan umum untuk mendapatkan mandatnya.
Menurutnya tidak fair jika pengisian penjabat kepala daerah kemudian hanya berdasarkan mekanisme dan prosedur administrasi kepegawaian tanpa adanya manifestasi dan representasi legitimasi dan mandat dari rakyat.
Selain itu, kata dia, hal tersebut jelas tidak senapas dengan amanat konstitusi dan jauh dari cita-cita reformasi.
Sekadar contoh, lanjut Fahmi, penunjukan duta besar saja harus melalui proses persetujuan parlemen, lalu menurutnya, mengapa tidak dibuka opsi yang sama untuk pengisian penjabat kepala daerah.
Misalnya, kata dia, persetujuan DPR RI untuk penjabat gubernur dan persetujuan DPRD Provinsi untuk penjabat Bupati/Walikota.
Menurutnya, opsi itu tersebut lebih fair, legitimate, dan transparan.
"Sebelum membenahi dan menyempurnakan aturan main, pemerintah sebaiknya tak memaksakan diri melibatkan atau menggunakan TNI/Polri secara massif untuk mengisi kekosongan kepala daerah," kata dia.