Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Ormas Berperan Mencegah Aksi Terorisme
Konsep collaborative governance sebagai bagian dari Ilmu Administrasi, dijadikan kerangka analisis pencegahan terorisme di Indonesia
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Universitas Indonesia (UI) promosikan Stanislaus Riyanta menjadi doktor di bidang Ilmu Administrasi dengan disertasinya yang berjudul Model Tata Kelola Kolaborasi dalam Pencegahan Terorisme di Indonesia.
Pada acara promosi yang digelar di Auditorium Edisi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Selasa (28/6/2022), Stanislaus menjadi doktor dari Fakultas Ilmu Administrasi yang ke-14 dengan predikat Cumlaude.
Promotor dari Stanislaus adalah Prof. Dr Amy S Rahayu, M.Si, dan kopromotor adalah Dr Benny Jozua Mamoto, SH MSi.
Penelitian yang dilakukan oleh Stanislaus cukup unik, karena menganalisis masalah terorisme dengan pendekatan Ilmu Administrasi.
Konsep collaborative governance sebagai bagian dari Ilmu Administrasi, dijadikan kerangka analisis pencegahan terorisme di Indonesia.
Baca juga: Mahfud MD dan Mendagri Australia Bahas Pencegahan Terorisme, Ekstrimisme, Hingga Keamanan Siber
Dalam acara promosi tersebut, Stanislaus membacakan ringkasan disertasi terutama terkait problematikan pencegahan terorisme di Indonesia.
Stanislaus menyebutkan bahwa upaya yang dilakukan oleh pemerintah saat ini masih belum maksimal untuk mencegah terorisme, terbukti bahwa radikalisme dan terorisme masih terjadi di Indonesia.
Menurut Stanislaus, untuk mencegah terorisme, pemerintah harus melakukan kolaborasi tidak hanya antar lembaga/kementrian, tetapi juga dengan aktor non pemerintah seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri.
"Pentingnya melibatkan aktor non pemerintah karena radikalisme sebagai akar dari terorisme masif terjadi di masyarakat, sehingga unsur yang pertama kali bisa melakukan deteksi dini seharusnya adalah masyarakat.
Selain itu jika masyarakat mempunyai pemahaman yang kuat terkait ancaman radikalisme dan terorisme, maka kemauan masyarakat untuk melakukan pencegahan dan perlawanan terhadap radikalisasi bisa muncul," terang Stanislaus dalam disertasinya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Stanislaus, ditemukan berbagai fakta yang menjadi penyebab kolaborasi dalam pencegahan terorisme di Indonesia masih belum optimal.
Fakta tersebut antara lain pemahaman yang belum sama antar pihak-pihak yang terlibat dalam kolaborasi tersebut, bahkan ditemukan pendapat yang berbeda dari pejabat pemerintah terkait terorisme, yaitu terorisme dianggap hanyalah permainan intelijen.
"Temuan lainnya adalah kapasitas terkait pencegahan radikalisme dan terorisme dari pihak-pihak yang terlibat dalam kolaborasi yang masih kurang. Masalah lainnya adalah persoalan anggaran, dan dasar hukum bagi pihak (selain BNPT) untuk terlibat dalam pencegahan terorisme, yang dianggap belum kuat," tulis disertasinya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.