Demi Edukasi Masyarakat, Industri Diimbau Tak Respon Berlebihan Regulasi Pelabelan BPA
BPOM saat ini tengah merampungkan peraturan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat
Penulis: Nurfina Fitri Melina
Editor: Firda Fitri Yanda
TRIBUNNEWS.COM - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) saat ini tengah merampungkan peraturan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat. Bahan tersebut merupakan jenis plastik yang pada proses pembuatannya menggunakan BPA.
BPA sendiri merupakan senyawa yang pada penelitian dan riset mutakhir menunjukkan bisa menimbulkan gangguan hormon kesuburan pria maupun wanita, diabetes dan obesitas, gangguan jantung, penyakit ginjal, kanker hingga gangguan perkembangan anak.
Terkait alasan BPOM memprioritaskan tahap awal pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang, Deputi Bidang Pengawasan Pangan BPOM, Rita Endang menjelaskan bahwa sekitar 50 juta lebih masyarakat Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek.
“Dari total 21 miliar liter produksi industri air kemasan per tahunnya, 22 persen di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Dari yang terakhir, 96,4 % berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat. Artinya 96,4 % itu mengandung BPA. Hanya 3,6 % yang PET (Polietilena tereftalat)," jelas Rita.
Melihat potensi bahaya bahan kimia Bisfenol A (BPA) pada kesehatan dan keselamatan publik merupakan sesuatu yang nyata, Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono mengimbau agar kalangan industri tidak perlu berlebihan merespons regulasi pelabelan BPA yang justru untuk mengedukasi masyarakat.
Menurut Pandu, tujuan pelabelan BPA sejatinya semata melindungi masyarakat sehingga industri tak perlu berlebihan dalam bersikap. Bahkan, tambah Pandu, di beberapa negara ada kewajiban pelabelan 'Free BPA' (Bebas BPA) dengan tujuan untuk edukasi masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa kekhawatiran terkait bahaya BPA bersifat global dan bisa diukur dari regulasi ketat di banyak negara, di mana kemasan pangan tidak diperbolehkan lagi menggunakan wadah yang mengandung BPA.
"BPA kan fungsinya menjadikan plastik keras dan jernih (tembus pandang, red), namun sayangnya bisa berpindah ke makanan atau minuman. Banyak penelitian menunjukkan kandungan BPA sudah ditemukan di cairan kemih dan pada binatang. Ini berbahaya," kata Pandu saat dihubungi, Selasa (14/06/2022).
“Bahkan produsen-produsen dunia, semisal Danone di Perancis juga sudah mengganti wadah produknya ke jenis plastik yang bebas BPA. Untuk itu, sudah semestinya industri di negara-negara berkembang juga dapat menerapkan hal yang serupa,” tambah Pandu.
Pelaku industri beri respon positif
Senada dengan Epidemiolog FKM UI tersebut, sejumlah pelaku industri juga memberikan respon positif terkait regulasi pelabelan BPA karena merupakan bagian penting untuk memberikan edukasi dan hak masyarakat.
Ketua Umum Asosiasi Pemasok dan Distributor Depot Air Minum Indonesia, Budi Dharmawan mengungkapkan akan ikut serta dalam menyosialisasikan kebijakan pemerintah soal bahaya BPA pada galon berbahaya plastik polikarbonat.
"Unsur kepastian akan rasa aman bagi konsumen itu selayaknya menjadi prioritas dalam memproduksi pangan terkemas. Konsumen akan memilih produk yang mampu beradaptasi," katanya.
Hal ini, jelas Budi, sebagai upaya untuk meningkatkan kepedulian konsumen akan keamanan produk karena ini terkait dengan kebiasaan masyarakat, tentunya perlu waktu untuk berubah.
“Sejak awal kami sudah menyatakan dukungan kami ke BPOM. Kami melihat bahwa pelabelan tersebut pada dasarnya demi keamanan kesehatan konsumen dan dunia usaha justru mendatangkan keuntungan dengan pelabelan tersebut dengan cara mengadaptasi value chain dari bisnis itu sendiri," kata Budi.
Menurut Budi, pelabelan BPA merupakan suatu upaya yang wajar dan yang sifatnya disruptif terlebih industri air minum kemasan adalah bisnis yang sudah berumur lebih dari 50.
Senada dengan itu, Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), Sofyan S. Panjaitan, berpendapat semua pihak perlu mendukung dan mendorong lahirnya regulasi pelabelan BPA.
Menurutnya, hal ini merupakan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan, khususnya via label dan iklan pangan.
Terkait masih adanya penentangan dari kalangan industri atas regulasi pelabelan BPA, Sofyan menilai hal itu karena industri belum punya "usulan yang pas" atas redaksi pelabelan BPA pada kemasan galon guna ulang.
Dia pun berharap regulasi BPA nantinya bisa dikembangkan secara menyeluruh terhadap semua kemasan pangan berbahan plastik.
“Bisa berupa kewajiban pencantuman logo Tara Pangan dan Kode Daur Ulang tanpa terkecuali. Selain itu, perlu penambahan label dengan redaksi "Pilih Kemasan Plastik yang Aman Digunakan" atau yang senada serta pencantuman barcode yang memuat beragam informasi produk, termasuk masa berlaku, jenis kemasan dan produsen,” jelas Sofyan.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) menyatakan mendukung regulasi pelabelan BPA.
Menurut Ketua Bidang Program Keberlanjutan dan Dampak Kontribusi Sosial Gapmmi, Arief Susanto, organisasinya ikut memberi masukan pada BPOM terkait regulasi pelabelan BPA.
"Prinsipnya kami percaya pemerintah dalam menentukan kebijakan selalu mempertimbangkan berbagai hal, termasuk memberikan perlindungan bagi daya saing dan pertumbuhan industri dan sekaligus memberi perlindungan pada konsumen terkait keamanan pangan," tutupnya.