Kementerian LHK: Pengelolaan Hutan Lestari Harus Topang Pengendalian Perubahan Iklim
Pengelolaan hutan lestari adalah pilar penting menjadi penopang dalam pencapaian komitmen Indonesia dalam perubahan iklim
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Erik S
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengelolaan hutan lestari adalah pilar penting membangkitkan sektor kehutanan sekaligus menjadi penopang dalam pencapaian komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim.
Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto menjelaskan pasca terbitnya Undang-undang Cipta Kerja, ada rekonfigurasi dalam pengelolaan kawasan hutan produksi.
Baca juga: Kongres Kehutanan Indonesia Gaungkan Kebermanfaatan Hutan bagi Kemajuan Bangsa
“Kini kawasan hutan lestari dikelola dengan pendekatan landscape yang memperhatikan kelola sosial, kelola lingkungan, dan kelola ekonomi untuk kesejahteraan,” tutur Agus melalui keterangan tertulis, Minggu (3/7/2022).
Hal tersebut diungkapkan oleh Agus saat talkshow dalam Indonesia Green Environment and Forestry Expo.
Berdasarkan data KLHK dari 120 juta hektare kawasan hutan yang berupa daratan, seluas 67,5 juta hektare adalah kawasan hutan produksi dengan 32,9 juta hektare diantaranya telah dibebani izin.
Agus menambahkan, KLHK mendorong transformasi perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) mengimplementasikan multi usaha kehutanan.
Ini berarti PBPH tidak hanya berbasis pada hasil hutan kayu tapi juga hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, jasa sosial, dan fungsi penyangga kehidupan.
Lebih lanjut Agus menjelaskan pentingnya pengelolaan hutan lestari dalam pengendalian perubahan iklim.
Baca juga: Lima Fakta Penemuan Ladang Pohon Ganja di Kabupaten Cianjur, Berlokasi di Hutan Lindung
Dia mengungkapkan, sebagai kontribusi dalam pengendalian perubahan iklim, Indonesia telah mencanangkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan dukungan Internasional.
Selain itu, Indonesia juga telah berkomitmen untuk mencapai FOLU Net Sink di tahun 2030. Ini adalah kondisi dimana tingkat penyerapan GRK di sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Use/FOLU) sudah seimbang atau lebih tinggi dari emisinya. Penurunan emisi GRK di sektor FOLU akan berkontribusi hingga 60 persen dari total komitmen penurunan emisi GRK secara Nasional.
Dalam Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 ada sejumlah aksi mitigasi yang dilakukan diantaranya adalah rehabilitasi dan pengembangan hutan tanaman.
Baca juga: Kisah Pengendara Mobil Bertemu Harimau saat Melintasi Kawasan Hutan Lindung Bengkulu
Dalam kesempatan yang sama, Vice Director APP Sinar Mas Irsyal Yasman mengatakan sebagai perusahan pulp dan kertas terintegrasi, APP Sinar Mas mengembangkan hutan tanaman sebagai sumber bahan baku produksinya.
"Hutan tanaman memiliki produktivitas 20-30 kali dibanding hutan alam. Selama tumbuh dia menyerap karbon,” katanya.
Untuk memastikan penyerapan karbon di hutan tanaman berkelanjutan, APP Sinar Mas langsung melakukan penanaman kembali setelah panen di lakukan.
Untuk mencegah emisi GRK APP Sinar Mas dan mitra-mitra pemasoknya juga melakukan perlindungan hutan seluas 593.058 hektare di dalam konsesi PBPH yang tersebar di 5 provinsi.
Dalam pengelolaan konsesinya, APP Sinar Mas kata Irsyal, juga melibatkan masyarakat. Ada program Desa Makmur Peduli Api (DMPA) dimana APP Sinar Mas melakukan pendampingan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan bagi warga.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.