Dokter Divisi Psikiatri Adiksi Unair: Tak Perlu Buru-buru Legalisasi Ganja untuk Medis
Dokter dari FK Universitas Airlangga menyebut tidak perlu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan terkait legalisasi ganja untuk keperluan medis.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Erik S
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Dokter Divisi Psikiatri Adiksi di Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR) dr Soetjipto SpKJ (K) menyebut tidak perlu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan terkait legalisasi ganja untuk keperluan medis.
Ia menyebut, perlu memperhatikan banyak faktor misalnya terkait dengan Undang-Undang Narkotika.
Baca juga: BNN Tegas Tolak Legalisasi Ganja, Meskipun Tingkat Keberbahayaan Ganja Turun Jadi Level 1
Indonesia menetapkan ganja sebagai narkotika golongan satu.
"Artinya ganja hanya boleh dipergunakan untuk penelitian. Ganja medis belum mendapat izin sebagai sarana pengobatan," ujarnya dikutip dari laman unair.ac.id, Rabu (13/7/2022).
Berdasar hasil penelitian, ganja medis dapat berperan sebagai alternatif terapi atau pengobatan bagi beberapa penyakit. Di antaranya, glaukoma, osteoporosis, diabetes melitus, kanker, hipertensi, bahkan dapat mengatasi kejang bagi pasien cerebal palsy.
Untuk itu, dr Tjipto menyarankan ganja medis dapat diturunkan golongannya menjadi narkotika golongan dua atau tiga agar dapat menjadi sarana terapi atau pengobatan.
“Meskipun nantinya boleh dapat bermanfaat sebagai obat, penggunaannya juga perlu pengawasan yang ketat. Jika ingin menggunakan harus melalui tenaga medis yang memang sudah terlatih. Jadi, ketika sudah legal, tetap penggunaannya tidak bisa semena-mena,” terang dr Tjipto.
Tenaga medis dapat membantu mengawasi takaran atau dosis yang tepat penggunaan ganja medis bagi pasien. Sehingga ganja tersebut juga tidak akan salah guna dan menyebabkan kecanduan.
Baca juga: Kementan Soal Wacana Ganja Medis: Tidak Ada di Daftar Tanaman Binaan dan Budidaya
“Kalau penduduk atau masyarakat di negara ini sudah kecanduan ganja semuanya, ini akan mengganggu stabilitas negara. Hal itu berkaca dari bangsa lain yang kacau karena bermula dari maraknya penyalahgunaan zat-zat psikoaktif tersebut. Untuk itu kalaupun ganja medis akan dilegalkan untuk terapi, pemerintah perlu membuat aturan yang melindungi masyarakat dari penyalahgunaan pemakaiannya,” jelasnya.
Ia menerangkan, ganja medis berbeda dengan ganja untuk bersenang-senang atau ganja rekreasional. Sehingga relatif akan aman juga untuk pengobatan.
Baca juga: Cerita Direktur Tindak Pidana Narkoba Polri Jajal Es Krim Ganja di Thailand: Rasanya Daun-daun
Pada ganja medis terkandung zat cannabidinol (CBD)yang dapat menjadi obat untuk terapi bagi berbagai macam penyakit. Sedangkan ganja rekreasional memiliki kandungan tetrahidocannabinol (THC).
Kandungan THC tersebut yang membuat penggunanya merasakan sensasi “high” atau “fly.”
Selain itu pemakaian ganja rekreasional dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan. Misalnya infeksi paru-paru, serangan jantung, peradangan saluran pernafasan, lambat berpikir, hingga memicu munculnya gangguan bipolar.