Singgung Presidential Treshold, Fahri Hamzah Bandingkan Demokrasi Indonesia dengan Perancis
Politisi Partai Gelora Fahri Hamzah menilai tingginya Presidential Treshold merupakan upaya pembatasan aspirasi rakyat.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menyoroti terkait ditolaknya gugatan partainya berkaitan dengan Presidential Treshold (ambang batas pencalonan presiden) yang menyaratkan 20 persen kursi DPR atau 25 persen total perolehan suara nasional.
Fahri menilai tingginya Presidential Treshold merupakan upaya pembatasan aspirasi rakyat.
Menurut dia, itu adalah cerminan bahwa partai politik (parpol) tidak mampu merepresentasikan keterbukaan.
“Itulah yang kita mau, sebenarnya 2024 ada koreksi total supaya demokrasinya makin representatif. Kecenderungannya tidak. Partai politik mengkerangkeng diri dalam ketidakmampuan melakukan representasi,” kata Fahri Hamzah dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (13/7/2022).
“Itu sebabnya mereka membatasi presidential treshlod, parlement treshold, itu semua sebenarnya untuk memproteksi diri karena ketidakmampuan mereka sebenarnya (untuk) bertanding secara lebih terbuka dalam satu kenyataan bahwa rakyat itu memerlukan refreshing,” lanjutnya.
Baca juga: Fahri Hamzah Sayangkan Putusan MK Menolak Gugatan Pemilu Serentak
Lantas Fahri pun menyinggung perkembangan demokrasi di berbagai negara, satu di antaranta ialah Prancis.
Dalam ketentuan di negara dengan sistem reformasi yang matang, partai politik baru dapat langsung mencalonkan diri hingga memenangkan Pemilihan Presiden di negaranya.
“Seperti Macron di Prancis dan banyak lagi negara-negara yang partai politik baru menawarkan, ini baru ditangkap oleh publik sebagai aspirasi baru, lalu mereka menang dan kemudian menjadi presiden,” ujarnya.
Fahri menyebutkan salah satu alasannya mengajukan gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden adalah agar adanya sirkulasi di lingkup penguasa negara.
“Harusnya Indonesia menyiapkan itu tapi malah tidak mereka makin menggumpal utnuk menghalangi siapapun untuk mencalonkan diri. Saya kira itu yang perlu kita koreksi kedepan,” katanya.
Seperti diketahui, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Partai Gelora soal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Gugatan dengan nomor perkara nomor 35/PUU-XX/2022 ini diajukan tiga petinggi Partai Gelora, yakni Anis Matta, Mahfuz Sidik, dan Fahri Hamzah.
"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Hakim Ketua Anwar Usman, Kamis (7/7/2022).
Dalam gugatannya, pemohon menilai frasa 'serentak' dalam Pasal 167 ayat 3 dan Pasal 347 ayat 1 UU Pemilu dimaknai secara sempit sebagai waktu pemungutan suara Pemilu yang harus dilaksanakan pada hari yang sama untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih anggota DPRD.
Namun hakim tetap memutuskan bahwa frasa serentak dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat 1 UU 7/2017 haruslah tetap dinyatakan konstitusional.
"Belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk menggeser pendiriannya isu pokok yang berkaitan dengan frasa serentak sehingga norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat 1 UU 7/2017 haruslah tetap dinyatakan konstitusional," ujar hakim konstitusi Saldi Isra.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.