Lambatnya Pengungkapan Kematian Brigadir J, Mantan Kepala BAIS TNI: Ini di Luar Kebiasaan Polisi
Mantan Kepala BAIS TNI Laksamana Muda (Purn) Soleman B Ponto menyebut pengungkapan kasus yang terkesan lambat ini di luar kebiasaan polisi.
Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Laksamana Muda (Purn) Soleman B Ponto, turut menanggapi soal kematian Brigadir J di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Jumat (8/7/2022).
Menurut Ponto, pengungkapan kasus yang terkesan lambat ini di luar kebiasaan polisi.
Biasanya jika ada kasus penembakan, polisi langsung dapat cepat mengungkap.
Tapi, kasus dugaan terjadinya baku tembak antara Brigadir J dengan Bharada E, belum juga terungkap.
"Setelah satu minggu ini saya menunggu polisi memperlihatkan (upaya pengungkapan) tidak ada kabar berita tentang penembakan, malah yang semakin gencar itu adalah dimunculkan (dugaan) pelecehan seksual."
"Nah, dari sini saya merenung kembali dan mendapatkan fakta lagi bahwa fakta yang bisa kita lihat bersama itu hanya matinya saudara J."
Baca juga: Komnas HAM Temukan Banyak Fakta Baru soal Kematian Brigadir J, Termasuk soal Peretasan HP Keluarga
"Tembak menembak ini tidak ada buktinya, itu hanya diceritain oleh Kapolres, tapi faktanya mana, tersangkanya belum ada, orangnya mana."
"Ini di luar kebiasaan polisi, biasanya polisi kalau tembak-menembak sangat cepat (mengungkap) inilah pelakunya," kata Ponto, dikutip dari tayangan Kompas Tv, Senin (18/7/2022).
Apalagi, belum ada satu orang pun yang melihat tembak-menembak itu.
"CCTV yang melihat pun mati, Kapolres bilang CCTV itu dua minggu sudah dicabut (karena rusak) ternyata kemarin beritanya satu hari setelah penembakan (langsung dicabut CCTV-nya), nah ini yang membuat saya ragu, apa benar ada penembakan dalam kejadian ini."
Baca juga: Pengamat Soal Glock 17 yang Digunakan Bharada E Tembak Mati Brigadir J : Tamtama Maksimal Revolver
"Kalau saya lihat polisi sendiri saja ragu (akan penembakan ini), malah yang ditekankan adalah pelecehan seksual."
"Nah, ini yang sampai hari ini belum ada (bukti dan terasa) sangat janggal, ini di luar kebiasaan polisi," jelas Ponto.
Apalagi jika sudah dilakukannya autopsi, tentu pengungkapan kasus bisa sangat jelas dan cepat sampai ke publik.
"Polisi biasanya cepat sekali mengungkap hal seperti ini, apalagi kalau sudah ada yang namanya autopsi, (mereka mengungkap) sangat cepat."
"Tapi sekarang kok enggak, malah kecenderungan itu tidak bicara soal penembakan, malahan soal pelecehan seksual," lanjut Ponto.
Baca juga: Istri Kadiv Propam Ferdy Sambo Belum Didampingi LPSK, Wakil Ketua LPSK: Masih Terguncang
Kompolnas soal Hasil Otopsi
Komisioner Kompolnas, Albertus Wahyurudhanto, mengatakan menurut informasi jenazah Brigadir J sudah diautopsi.
"Informasinya (jenazah Brigadir J sudah) diautopsi dari pihak Polri sudah, tetapi belum dibuka ke kita (Kompolnas)."
"Jadi setelah kami dilibatkan dalam tim ini, kami memang harus mengawal (kasus ini)."
"Masukan banyak sekali, seperti masukan yang disampaikan Pak Ponto, dari akademisi, dari senior Polri, dari pengamatan menceritakan kejanggalan-kejanggalan itu, itu semua menjadi bahan kami untuk kami klarifikasi."
"Ini menjadi bahan sebelum kami nanti memberikan kesimpulan benar atau tidaknya, salah atau tidaknya, relevan atau janggalnya (kasus itu)," kata Wahyurudhanto.
Baca juga: Menurut SOP, Bharada E yang Terlibat Baku Tembak di Rumah Ferdy Sambo Tak Boleh Bawa Senjata Api
Mengacu informasi yang diberikan oleh Polri bahwa jenazah Brigadir J telah diautopsi tiga hari yang lalu, Kompolnas mempertanyakan hal itu.
"Justru ada banyak hal yang mau kita tanyakan sama Polri, mengapa sampai tiga hari, mengapa (kasus) tidak mudah terbuka," lanjut Wahyurudhanto.
Wahyurudhanto menyebut, pihaknya tidak berani menyatakan secara faktual akan kasus itu, karena institusi belum secara resmi menerima data autopsi Brihadir J.
Kendati demikian, pihaknya tetap melakukan upaya pengumpulan bukti terkait kasus ini.
"Sesuai dengan arahan dari Pak Mahfud MD selaku ketua, beliau pesan ke kita harus bisa kumpulkan fakta, identifikasi kemudian logika-logika yang tidak masuk akal itu kita analisis secara benar."
"Cerita asumtif dari berbagai versi itu masuk banyak sekali dan itu akan kita akan menganalisis fakta dan data yang ada (lalu disandingkan) dengan relevansi logika yang masuk akal," lanjut Wahyurudhanto.
(Tribunnews.com/Galuh widya Wardani)