Pakar Sebut Penolakan Regulasi Galon BPA Kaburkan Problem Sampah Plastik yang Sebenarnya
Polemik regulasi BPOM tersebut juga memantik pembahasan mengenai galon air minum berbahan Polyethylene Terephthalate (PET) yang dinilai lebih aman.
Penulis: Matheus Elmerio Manalu
Editor: Bardjan
TRIBUNNEWS.COM - Perdebatan penggunaan galon air minum kemasan guna ulang dan galon sekali pakai kembali ramai, terutama seiring dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang akan menerapkan aturan pelabelan risiko senyawa kimia Bisfenol-A (BPA) pada galon guna ulang berbahan polikarbonat.
Penolakan regulasi pelabelan risiko BPA pada galon air minum datang dari sejumlah kalangan, baik dari kalangan pejabat pemerintah terkait, akademisi, asosiasi hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Namun, Yusra Abdi, pemerhati ekonomi sirkular dari Nusantara Circular Economy & Sustainability Initiatives (NCESI), menganggap bahwa penolakan tersebut dibuat hanya berdasarkan kepentingan produsen galon guna ulang.
“Suara penolakan itu sepertinya jadi sejalan dengan kepentingan produsen galon air polikarbonat pemilik market leader yang justru menjadi salah satu penyumbang sampah AMDK terbesar di Indonesia,” tegas Yusra Abdi di Jakarta, dilansir dari rilis yang diterima Tribunnews, Selasa (19/7/2022).
Polemik regulasi BPOM tersebut juga memantik pembahasan mengenai galon air minum berbahan Polyethylene Terephthalate (PET) yang dinilai lebih aman.
Menurut Yusra, informasi yang mendukung penolakan rencana regulasi BPOM, terlebih dari akademisi, adalah sesat informasi, mengingat aturan tersebut dibuat dengan tujuan untuk melindungi konsumen.
Yusra pun mengkritik penolakan tersebut hanya membebek dari sebagian industri yang melobi BPOM untuk menghambat rencana regulasi pelabelan BPA.
"Salah satunya adalah dengan menyebut aturan pelabelan risiko polikarbonat bakal menambah jumlah sampah plastik, karena publik bakal terdorong untuk meninggalkan galon isi ulang dan beralih ke galon sekali pakai yang bebas polikarbonat," katanya.
Padahal, lanjut Yusra, semua air minum dalam kemasan (AMDK) non-galon yang beredar di pasar–kecuali gelas plastik–merupakan kemasan sekali pakai yang umumnya berbahan PET yang bebas polikarbonat. Penjualan terbesar produsen AMDK ternama di Indonesia pun bersumber dari penjualan kemasan single pack size sekali pakai yang semuanya berbahan PET.
Mereka juga menuding regulasi BPOM tersebut bisa merugikan dunia usaha dan hanya menguntungkan produsen yang menggunakan galon air minum berbahan PET yang dinilai relatif aman.
Padahal, regulasi pelabelan BPA pada galon guna ulang tidak mengedepankan kepentingan pengusaha mana pun, melainkan demi kepentingan kesehatan jutaan rakyat Indonesia sebagai konsumen air mineral.
Yusra juga mengatakan, BPOM justru tidak melarang penggunaan galon isi ulang dari plastik polikarbonat atau sebaliknya, mendorong publik mengonsumsi galon dari plastik lunak yang bebas polikarbonat.
BPOM sebatas ingin menerapkan kebijakan pencantuman label peringatan atas risiko polikarbonat yang mengandung bahan kimia yang berbahaya. Sehingga, konsumen air galon mendapat informasi menyeluruh, sebagaimana dijamin dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Timbulan sampah plastik AMDK berukuran kecil justru lebih besar
Yusra berpendapat, penolakan dari para penentang regulasi BPOM tidak fokus pada penanggulangan timbulan sampah plastik nasional secara keseluruhan, melainkan hanya mengerucut pada galon guna ulang.
"Bila masalahnya memang plastik sekali pakai, mengapa asosiasi industri tidak pernah mempersoalkan potensi sampah dari penjualan produk sekali pakai mereka yang masif itu?” ungkap Yusra.
Sampah plastik jenis lainnya–yang jumlahnya lebih banyak dan berkontribusi besar pada problem sampah plastik nasional–justru diabaikan.
Padahal, data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari 64 juta ton sampah yang dihasilkan per tahun, sebanyak 3,2 juta ton, adalah sampah plastik. Sampah plastik AMDK bermerek menyumbang 226 ribu ton atau 7,06 persen.
Sebanyak 46 ribu ton atau 20,3 persen dari total timbulan sampah produk AMDK bermerek adalah sampah AMDK gelas plastik.
Dengan kata lain, data tersebut menyimpulkan air minum dalam kemasan plastik berukuran di bawah 1 liter terbukti sangat sulit untuk dikumpulkan, terlihat berceceran di mana-mana dan mengotori lingkungan.
Sebagai contoh, hasil brand audit yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat Sungai Watch di Bali pada 2021 menunjukan 10 besar perusahaan yang produk dan kemasannya paling mencemari Bali. Salah satu produsen AMDK terbesar di Indonesia juga menyumbang sampah plastik terbanyak dengan total sampah plastik 27.486 item atau 12 persen dari total sampah plastik yang dianalisis.
Gelas plastik dan botol plastik menjadi dua sampah yang paling banyak diaudit dari salah satu penguasa pasar AMDK tersebut.
Untuk mengurangi sampah plastik di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebenarnya sudah memiliki strategi berupa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah, yang meminta semua produsen untuk menyusun roadmap pengurangan sampah dengan target pengurangan 30 persen timbulan sampah hingga Desember 2029 nanti.
Permen ini juga mendorong industri untuk menghentikan produksi air minum kemasan ukuran di bawah 1 liter dan kemasan saset di bawah 50 mililiter. Pasalnya, masih dari data BPS, sebanyak 46 ribu ton timbulan sampah produk AMDK bermerek adalah produk kemasan plastik berukuran di bawah 1 liter.
“Kemasan yang kecil-kecil, khususnya yang dirancang sekali pakai dan tidak bisa diguna ulang, potensi jadi sampah atau polutannya sangat tinggi dibanding kemasan berukuran besar. Apalagi jenis plastiknya tidak bisa didaur ulang, maka sudah pasti jadi sampah karena tidak laku,” kata Kepala Subdirektorat Tata Laksana Produsen Direktorat Pengurangan Sampah KLHK, Ujang Solihin Sidik, dilansir dari rilis yang diterima Tribunnews, Selasa (19/7/2022).
Oleh karena itu, Ujang mengatakan pemerintah berusaha mendorong produsen untuk memproduksi botol plastik yang lebih besar atau size up.
“Makanya kita dorong ukurannya diperbesar dalam konteks pengumpulan kembali (produk guna ulang). Dalam konteks industri daur ulang, ukuran itu menjadi penting,” jelasnya.
Ujang juga mengatakan, sampah AMDK gelas plastik, termasuk penutup, sedotan dan pembungkus sedotan, terbukti menimbulkan persoalan besar bagi lingkungan karena tidak ada nilainya untuk didaur ulang.
Padahal, Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019, menyebutkan bahwa, pendauran ulang sampah terutama sampah plastik, dapat dilakukan produsen dengan cara menggunakan bahan baku produksi yang dapat didaur ulang dan menggunakan bahan baku produksi hasil daur ulang.
Ekonomi sirkular, menurut Ujang, dapat berkembang baik di Indonesia apabila sampah plastik bisa didaur ulang. Akan tetapi, hal tersebut belum bisa dicapai karena timbulan sampah plastik yang ada belum cukup memadai, sehingga Indonesia justru mengimpor bahan baku sampah plastik untuk kebutuhan daur ulang. (*)