Tim Perumus Jawab Dewan Pers soal 8 Pasal Bermasalah di RKUHP
Wamenkumham dan tim perumus Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menerima audiensi Dewan Pers, Rabu (20/7/2022).
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej dan tim perumus Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menerima audiensi Dewan Pers, Rabu (20/7/2022).
Dalam kesempatan itu, Dewan Pers menyampaikan delapan pasal bermasalah di RKUHP yang terkait kebebasan pers.
Ketua Bidang Pengaduan dan Etika Pers, Yadi Hendriana, membeberkan pasal-pasal dimaksud.
Pertama, terkait dengan pasal penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, dalam Pasal 218-220.
Pihak Dewan Pers mengkhawatirkan hal ini akan mengancam dan menghalangi fungsi pers sebagai kontrol sosial.
"Karena ketentuan ini kami anggap melanggar Pasal 28 f UUD 1945 yang berbunyi setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial serta berhak mencari memperoleh menyimpan dan lain-lain. Itu yang kami concern," ucap Yadi dalam audiensi tersebut, Rabu (20/7/2022).
Kemudian, pasal yang disorot soal penyiaran atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan bohong.
Ini tertuang dalam Pasal 263 dan 264.
Baca juga: Politisi Demokrat Benny K Harman Pastikan RKUHP Tak Akan Ancam Kebebasan Pers
"Itu kami anggap punya catatan tersendiri karena sedikit akan membawa pasal karet di sini. Kami khawatirkan, ada berita yang berkembang belum terkonfirmasi dengan baik kemudian akan membuat pers dipidana dan lain-lain. Ada kekhawatiran kami di situ," kata Yadi.
Kemudian, pasal lainnya yang menjadi sorotan yakni soal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara dalam Pasal 351 dan 352; penghinaan terhadap pemerintah dan penghasutan untuk melawan penguasa umum dalam Pasal 246-248.
Selanjutnya soal gangguan dan penyesatan proses peradilan dalam Pasal 280; tindak pidana terhadap agama dalam Pasal 302-304; pencemaran nama baik dalam Pasal 440; dan pencemaran orang mati dalam Pasal 443.
Tim perumus yang diwakili oleh Harkristuti Harkrisnowo memberikan penjelasan atas sejumlah pasal yang disorot tersebut.
Harkristuti menjelaskan, pembuatan pasal-pasal tersebut mengacu pada kode etik jurnalistik.
"Dalam RKUHP ini tidak ada satu pun pasal yang menyasar kepada pers," sebut Harkristuti.
Berkaitan penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, Harkristuti menjelaskan bahwa ini mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan tersebut Nomor 6/2007 tentang pengujian Pasal 154 KUHP.
Harkristuti menyebut pasal ini tidak bisa menjerat seseorang apabila yang disampaikannya merupakan kritik.
"Dalam pasal tersebut juga dijelaskan, ada asalan seseorang tidak bisa dipidana kalau itu kritik. Sehingga apabila dibawa ke pengadilan pun terbukti itu untuk kepentingan umum dan membela diri itu tidak bisa dipidana," ujar dia.
Kemudian soal Pasal 240 dan 241 terkait penghinaan terhadap pemerintah yang sah.
Baca juga: Dewan Pers: Pemerintah dan DPR Beri Perangkat Untuk Bungkam Media Massa Bila RKUHP Disahkan
Dia menjelaskan, bahwa pasal ini hanya bisa diterapkan ketika ada delik materil berupa akibat, yakni kerusuhan.
"Di dalam sini ada akibatnya, jadi yang dilarang adalah perbuatan yang ada akibatnya. Dalam bahasa hukum pidana yaitu delik materil, apa akibatnya? menyebabkan kerusuhan. Jadi tidak semata-mata karena penghinaan titik, itu delik formil perbuatannya. Tapi yang sekarang apabila dia menyebabkan kerusuhan," tutur Harkristuti.
Berikutnya tentang Pasal 246 penghasutan melawan penguasa umum.
Dia menjelaskan, penghasutan ini dilakukan dengan kekerasan.
"Alasan apa pun kalau dengan kekerasan tentu saja tidak dapat dijustified. Sesuai juga dengan putusan MK tahun 2007 dan 2009, dan MK tidak pernah membatalkan pasal ini. Artinya tidak memandang bahwa pasal ini tidak perlu ada. Jadi kalau ada penghasutan apalagi dengan kekerasan saya kira tak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun," katanya.
Lalu soal penyebaran berita bohong dalam Pasal 262 dan 263.
Dia menyebut ini juga deliknya materil yang mensyaratkan terjadinya akibat berupa kerusuhan dari berita atau pemberitahuan bohong.
"Karena kalau misalnya ada berita enggak bener, pers punya kewajiban koreksi untuk melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi," ujarnya.
Kemudian soal Pasal 280 tentang contemp of court.
Harkristuti menilai ada kesalahan persepsi dari pers soal pasal ini.
"Ini diprotes oleh pers karena menganggap bahwa diberangus haknya beritakan peradilan. Tapi kalau kita baca yang dilarang itu adalah menyiarkan berita yang pertama ada di sidang pengadilan, di luar itu tidak masuk ini. Jadi saya pribadi dan teman-teman concern terhadap adanya live streaming, persidangan. Yang kita waktu itu Jessica (kasus kopi sianida) ya, menurut teman-teman psikolog kalau dia itu disorot media, dia bisa jadi individu yang lain. Semangat, kaya pengen piye gitu, keren, ini membahayakan," tuturnya.
Dia menjelaskan, apabila pihak media mendapatkan persetujuan dari hakim untuk meliput hal tersebut, tak jadi masalah.
"Kalau dapat persetujuan dari hakim, tidak masalah. Harus baik-baik sama hakimnya. Jadi kalau sudah dapat izin is not a crime ya, untuk merekam. Nah kemudian yang dilarang adalah menyerang identitas hakim itu juga setelah ada peringatan. Jadi sama sekali tidak ditujukan mengurangi kebebasan tadi, tidak ada upaya memberangus," katanya.
Di sisi lain, dia menjelaskan dalam proses beracara pidana, saksi lain tidak boleh ada dalam satu ruangan saat saksi lain sedang bersaksi.
Hal ini dikhawatirkan akan mempengaruhi kesaksian.
"Jadi itu juga salah satu kenapa kita enggak mau live streaming. Jadi penyesatan proses peradilan masuknya itu. Bukan tidak boleh menyebarkan berita tentang proses peradilan, bukan itu maksudnya," sebutnya.
Selanjutnya terkait pidana terhadap agama dan kepercayaan.
Dia mempertanyakan mengapa ini diminta dihapus.
Baca juga: Dewan Pers Sebut RKUHP Intervensi Sangat Serius Terhadap Kemandirian Pers
Karena pasal tersebut, kata dia, melarang terjadinya permusuhan, kebencian atau menghasut untuk melakukan permusuhan kekerasan atau diskriminasi.
"Jadi dari situ aja dilarang, jadi kenapa negara enggak boleh melarang, padahal itu adalah perbuatan-perbuatan permusuhan, kebencian atau menghasut dengan kekerasan," katanya.
Kemudian soal pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, ini dapat dipidana adalah menghina dan bukan kritik atau pemberitaan mengenai peristiwa atau opini dengan menghormati norma agama, rasa kesusilaan dan praduga bersalah.
"Jenis deliknya aduan, dan hanya bisa menjadi delik materiil jika terjadi akibat berupa kerusuhan," tuturnya.
Terakhir soal pasal pencemaran, penghinaan ringan dan pencemaran nama baik orang mati.
Dia mengatakan, ini bukan ketentuan yang baru karena sudah pernah diatur dalam Pasal 310-321 KUHP.
"Tidak pernah dibatalkan oleh MK, Pasal 316 KUHP tentang penghinaan terhadap pejabat menjadi delik aduan," sebutnya.
"Memiliki alasan penghapus pidana yaitu bukan penghinaan jika dilakukan untuk membela diri atau kepentingan umum," ia menambahkan.