Awal Mula Terungkapnya Kasus Bullying, Kondisi Korban Sebelum Meninggal & Desakan Usut hingga Tuntas
Sejumlah pihak meminta agar kepolisian mengusut tuntas kasus meninggalnya bocah SD di Tasikmalaya karena depresi akibat bullying.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, TASIKMALAYA - Berawal dari pesan yang beredar di Whatsapp, kasus meninggalnya seorang bocah sekolah dasar (SD) di Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya akhirnya terungkap.
Bocah berusia 11 tahun itu meninggal karena mengalami depresi setelah rekaman dirinya yang dipaksa untuk melakukan perbuatan tak senonoh terhadap kucing disebarkan kepada teman-temannya.
Korban tidak mau makan dan minum sampai akhirnya meninggal dunia saat dirawat di rumah sakit pada Minggu (18/7/2022) akhir pekan lalu.
Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya Ato Rinanto mengatakan awalnya pihaknya mendapatkan video rekaman anak yang tengah dibully oleh teman-temannya.
Baca juga: POPULER Regional: Bocah SD Dipaksa Bersetubuh dengan Kucing | Pasutri Paksa ABG Berhubungan Intim
Setelah ditelusuri, bocah itu ternyata sudah meninggal.
Ternyata selama ini dia menjadi korban terduga perundungan teman-temannya.
"Kami awalnya ada laporan video rekaman anak yang dibully oleh teman-temannya dan dipaksa begitu dengan kucing. Setelah didatangi rumah korban, ternyata korban sudah meninggal," kata Ato Rinanto, Kamis (21/7/2022) pagi.
Kasus ini akan dilaporkan KPAID Kabupaten Tasikmalaya ke Unit Perlindungan Perempuan Anak (PPA) Satreskrim Polres Tasikmalaya.
Pihaknya mendampingi keluarga korban untuk pemulihan psikis dan juga berlaku pendampingan kepada para pelaku karena usianya masih anak-anak.
"Kami sedang melakukan pendampingan pemulihan psikis kepada keluarga korban. Kami juga sedang berkoordinasi dengan keluarga pelaku untuk pendampingan dalam kasus ini," ujar Ato.
Ato Rinanto, mengatakan, aksi pemaksaan terhadap korban berbuat tak senonoh dengan kucing juga diduga dalam konteks membully korban.
"Korban tak bisa berbuat banyak."
Baca juga: KPAI Minta Polisi Usut Tuntas Kasus Bocah SD Meninggal Usai Dipaksa Setubuhi Kucing
"Pada saat yang sama kejadian itu divideo dan kemudian rekamannya menyebar di medsos," ujar Ato.
Hal itulah, yang membuat korban malu dan akhirnya mengalami depresi.
"Saya sangat prihatin. Kejadian seperti ini baru kali pertama terjadi."
"Korban sampai depresi dan akhirnya enggan makan hingga akhirnya meninggal dunia," kata Ato.
Pihak KPAID terus memantau kejadian tersebut, termasuk berkoordinasi dengan pihak kepolisian, terkait penanganan kasus hukumnya.
Tahu rekaman dari tetangga
Orang tua korban, T (39), mengaku baru mengetahui rekaman anaknya itu dari tetangganya sepekan sebelum meninggal.
Sejak itu korban tak mau makan dan minum di rumah dan menjadi sering melamun dan menyendiri hampir sepekan lamanya.
Korban mengalami depresi sampai akhirnya mengeluhkan sakit tenggorokan dan dibawa ke rumah sakit untuk perawatan.
Namun, nyawa korban tak tertolong saat perawatan hingga meninggal dunia.
"Saya awalnya tahu rekaman itu dari tetangga dan tidak langsung di anak saya. Sejak saat itu anak saya jadi depresi," jelas T saat dihubungi Kompas.com lewat Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya, Ato Rinanto, Kamis (21/7/2022).
Baca juga: Cara Agar Siswa Terhindar dari Tindakan Bullying, Jalin Hubungan Baik dengan Lingkungan Sekolah
Selama masa hidupnya korban enggan memberikan identitas para pelaku pemaksaan dan perundungan.
Padahal, beberapa kali orang tua menanyakan awal mula kejadian. Namun korban bungkam dan enggan membuka suara.
Setelah ditanyakan ke teman-teman dan tetangganya, diketahui para pelaku adalah teman-teman mainnya di desa yang sama namun berbeda kampung.
Bahkan, ada salah satu pelaku yang usianya di atas korban.
Suara pelaku di rekaman video 50 detik itu dikenali keluarga korban.
Ibu kandungnya mengaku korban merupakan anak kedua dari empat saudara dan berstatus pelajar SD di wilayah Kabupaten Tasikmalaya.
Korban sempat mengaku ke ibu kandungnya dipaksa menyetubuhi kucing dengan disaksikan teman-temannya sambil diolok-olok dan direkam ponsel para pelaku.
Bahkan aksi bullying itu sebelumnya juga sering diterima korban.
"Sebelum kejadian rekaman itu, korban juga mengaku suka dipukul-pukul oleh mereka. Sampai puncaknya dipaksa begitu (sama kucing)," kata dia.
Usai kejadian itu, keluarga para pelaku perundungan sempat datang ke rumah dan meminta maaf.
Pihak keluarga mengaku sudah ikhlas dengan kepergian anaknya dan meminta hal ini tak terjadi lagi.
"Saya minta jangan lagi ke anak lainnya," ujar dia.
Baca juga: Bocah SD di Tasikmalaya Meninggal Usai Dipaksa Setubuhi Kucing: Pelajar SMP Terlibat
Belum ada tersangka
Terkait kasus ini Polda Jabar belum menetapkan tersangka.
Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Ibrahim Tompo mengatakan polisi masih harus melakukan pendalaman guna memperjelas kronologi terjadinya peristiwa itu.
"Belum (identitas terduga pelaku) karena peristiwanya aja mau diperjelas dulu," ujar Ibrahim saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (21/7/2022).
Setelah peristiwanya jelas, kata Ibrahim, pihaknya akan melihat ada atau tidaknya unsur pidana dalam kasus itu.
Kemudian, akan dilakukan pendalaman untuk menentukan siapa pihak yang bertanggung jawab terkait tindak pidana tersebut.
"Kemudian, dari tindak pidana itu nanti kita cek siapa yang bertanggung jawab atas tindak pidananya."
"Tahapan-tahapannya harus dilalui," katanya.
DPR minta polisi usut tuntas
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf meminta pihak kepolisian turun tangan dan mengusut tuntas kasus tersebut.
"Saya prihatin sekali dengan kasus perundungan yang makin marak ini. Sepertinya memang polisi harus turun tangan dan menelusuri pembuat dan penyebar video tersebut. Tidak sulit kok jika polisi turun," kata Dede Yusuf saat dihubungi Tribun, Kamis (21/7/2022).
Dede Yusuf mengingatkan agar ada pendekatan yang berbeda jika pelaku masih anak-anak.
"Hukum tetap harus dijalankan, sesuai aturan dan jika kenakalan anak-anak yang terjadi, maka harus ada koreksi yang dilakukan nantinya. Agar tidak terjadi lagi perundungan yang keterlaluan seperti itu," katanya.
Kasus serius
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Reza Indragiri Amriel angkat bicara soal nasib bocah berumur 11 tahun di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, depresi hingga akhirnya meninggal dunia.
Menurutnya, dua tahun, selama pandemi, tak ada peristiwa bullying.
"Tapi barangkali selama itu pula anak-anak menyaksikan berbagai ketidaksemenggahan perilaku manusia di media sosial. Imajinasi mereka terpupuk menjadi sedemikian liar," kata Reza Indragiri Amriel dalam keterangan yang diterima, Kamis (21/7/2022).
Baca juga: Mengganggu Psikologis Karyawan, Ini Cara Menghadapi Workplace Bullying
Reza Indragiri Amriel menyoroti kata 'bullying' yang dinilai terdengar lucu sebagian orang.
"Tidak mengesankan sebagai sesuatu yang parah, serius, dan mengerikan. Alhasil, kita seolah mengalami desensitisasi akibat malah akrab dengan bunyi yang lucu ketika kata itu diucapkan. Bullying toh juga bukan istilah hukum," katanya.
Untuk itu dirinya mengajak untuk menghentikan penggunaan kata yang malah mengundang salah kaprah atau bahkan penyepelean itu.
"Pakai saja, sebagai gantinya, istilah hukum. Misalnya kekerasan atau bahkan kejahatan, betapa pun kata itu tidak bisa dikenakan ke anak-anak. Ke anak-anak, sebutan yang boleh dipakai adalah kenakalan atau delinkuensi. Tapi itu pun tidak sepenuhnya mewakili bobot keseriusan fenomena dimaksud," ujarnya.
Reza menambahkan, perundungan terhadap anak adalah kasus yang serius.
Pertama, potret anak-anak itu sebagai orang yang diduga melakukan setidaknya empat tindak pidana.
Yaitu, kejahatan seksual, kekerasan fisik, penganiayaan yang mengakibatkan orang meninggal dunia, dan penganiayaan terhadap satwa.
"Ingat, satwanya jangan dinihilkan," katanya
"Kedua, setara dengan perbuatan mereka, bawa para pelaku yang berusia anak-anak itu ke proses hukum. Jangan diversi. Harus litigasi. Orang tua mereka harus hadir pada setiap tahap proses litigasi tersebut," kata Reza.
"Kelak, andai anak-anak itu divonis bersalah, terapkan kombinasi antara restorative justice dan incapacitation. Siang direstorasi (dididik dan diharuskan membayar ganti rugi kepada korban), malam dimasukkan ke bui," katanya.
Lebih lanjut Reza mengaku tak yakin bahwa mengembalikan anak pelaku perundungan ke rumahnya dan membina mereka selama enam bulan akan efektif.
"Tapi UU SPPA sendiri boleh jadi tidak menyediakan jalan-jalan yang melampaui hukum. So, revisilah UU SPPA," ujarnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di Surya.co.id dengan judul 4 FAKTA Bocah SD Dipaksa Setubuhi Kucing sampai Depresi dan Meninggal Dunia, Suara Pelaku Dikenali