Prof San Afri Awang: KHDPK Bukan Penyebab Kerusakan Lingkungan, Justru Perbaiki Lahan Kritis
Prof. San Afri Awang menegaskan bencana alam seperti banjir yang terjadi akibat lahan kritis bukan karena adanya KHDPK.
Penulis: Johnson Simanjuntak
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, Prof. San Afri Awang menegaskan bencana alam seperti banjir yang terjadi akibat lahan kritis bukan karena adanya KHDPK atau Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus.
"Justru KHDPK ingin memperbaiki lahan kritis ini. Perdebatan publik yang mengatakan KHDPK penyebab kerusakan lingkungan adalah salah total. Sebelum ada KHDPK lingkungan alamnya sudah rusak," ujar Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, Prof. San Afri Awang, Selasa (26/7/2022) terkait dengan perbincangan soal KHDPK atau Kawasan Hutan Dalam Pengelolaan Khusus.
Menurut Prof San Afri, pasti banyak orang mengatakan bagaimana dengan lingkungan hidup di pulau Jawa? Lingkungan hidup di pulau jawa yang sering terganggu adalah bencana iklim yaitu banjir. Banjir itu penyebabnya banyak, salah satunya adalah adanya lahan kritis seluas 470 ribu ha di dalam kawasan hutan negara.
Baca juga: Guru Besar IPB: KHDPK Strategi Pulihkan Hutan di Jawa dan Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Ditegaskan Prof San Afri, lahirnya KHDPK di Jawa harus dilihat secara holistic ekosistem Pulau Jawa.
Pulau Jawa luasnya sekitar 13 juta ha terdiri dari 3,4 juta ha hutan negara, sekitar 3 juta ha hutan rakyat (tanah milik), dan sisanya adalah penggunaan lain.
Hilangnya angka kecukupan luas hutan minimal 30 persen dari luas darata/DAS dalam UUCK No.11/2020 harus dibaca dengan cerdas dan inovatif. Khusus pulau jawa hilangnya angka 30 % memang satu keniscayaan sebab banyak masalah yang harus diselesaikan di pulau jawa.
PP 23/2021 dan Permen LHK no.9/2021 memastikan bahwa hutan rakyat harus dihitung sebagai bentuk tutupan lahan di pulau jawa yang luasnya sekitar 3 juta. Sistem registrasi akan dikenakan pada hutan rakyat dengan insenttif bagi pemilik hutan rakyat. Kekhawatiran publik jawa akan kekurangan tutupan vegetasi terjawab dengan diakomodirnya hutan rakyat bagian dari tutupan vegetasi di pulau jawa.
Dengan hutan rakyat, lanjut Prof San Afri, maka Pulau Jawa memiliki tutupan vegetasi seluas 6,4 juta ha (45 % ) berasal dari areal perhutani 1,4 juta ha areak perhutani, areal hutan rakyat 3 juta ha, areal konservasi 1 juta ha dan areal KHDPK sekitar 1 juta ha.
Hutan rakyat menghasilkan kayu bulat lebih dari 20 juta meter persegi per tahun, sementara perhutani menghasilkan kayu bulat kurang dari 700 ribu m3 per tahun.
Baca juga: Pemerhati Lingkungan Cepi Dadang Komara: Kehadiran KHDPK Tidak Akan Merusak Lingkungan
“Mari kita melihat pulau jawa dan lingkungan serta ekosistem pulau jawa dalam satu kesatuan utuh pulau dan segala isinya, jangan hanya melihat dari sisi pandang hutan negara saja. Terima kasih pada rakyat yang telah membangun hutan rakyat secara mandiri dan secara bantuan pemerintah,” ujar Prof San Arfi.
Dijelaskan, konsep Kawasan Hutan Dalam Pengelolaan Khusus atau KHDPK berdasarkan nama memang tidak punya nomen klatur ilmiah, tetapi punya nilai inovasi yang bernas.
Kenapa bernas karena KHDPK akan menyelesaikan hal hal sebagai berikut. (1) penanaman ulang lahan kritis, rusak, gundul dan tidak produktif akibat pengelolaan sebelumnya; (2) melanjutkan usaha usaha mensejahterakan masyarakat berbasis pada potensi sumberdaya hutan; (3) menyelesaikan konflik tenurial dengan masyarakat.
Berikutnya, (4) menyelesaikan masalah permukiman dalam kawasan hutan yang jumlahnya lebih dari 1000 titik masalah; (5) menyelesaikan kebutuhan tanah untuk pembangunan non kehutanan dan ketahanan pangan nasional; (6) mendukung program strategis nasional. Enam (6) poin ini tidak mungkin diselesaikan oleh perhutani karena perhutani hanya operator kebijakan saja.
"Jika masyarakat mengetahui persis tata kelola dan pemanfaatan kawasan KHDPK maka saya yakin perdebatan ditingkat masyarakat akan segera hilang dan masyarakat akan merasakan manfaat yang banyak dari konsep KHDPK ini," katanya.