KPK Telisik Proses Pengadaan Helikopter Angkut AW-101 Lewat Perwira TNI AU
KPK menyelisik proses pengadaan helikopter angkut AgustaWestland 101 (AW-101) di TNI AU pada tahun 2016-2017.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelisik proses pengadaan helikopter angkut AgustaWestland 101 (AW-101) di TNI AU pada tahun 2016-2017.
Hal itu didalami tim penyidik KPK kala memeriksa tujuh perwira TNI AU di kantor Puspom TNI AU, Selasa (26/7/2022).
Adapun tujuh perwira dimaksud yaitu Marsda Supriyanto Basuki, Kolonel Tek Agus Kamal, Kolonel Kal Benni Prabowo, Kolonel Kal Fransiskus Teguh Santosa, Kolonel Tek Hendrison Syafril, Kolonel Kal Achsanul Amaly dan Kolonel Kal Muklis.
"Para saksi hadir dan dikonfirmasi antara lain terkait dengan proses hingga teknis pelaksanaan dari pengadaan helikopter angkut AW-101 di TNI AU tahun 2016-2017," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (27/7/2022).
Baca juga: Panglima Pastikan TNI Masih Terbuka Jika Penyidikan Kasus Heli AW-101 Dilanjutkan
Terdapat satu perwira TNI AU yang tidak dapat memenuhi panggilan tim penyidik KPK. Dia adalah Kolonel Lek Andi S Pambudi.
"Tidak hadir dan informasi yang kami terima dalam kondisi sakit dan akan dilakukan penjadwalan ulang kembali," kata Ali.
Ketujuh perwira TNI AU tersebut diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101 di TNI AU tahun 2016-2017.
Dalam kasus itu, KPK menetapkan tersangka Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway.
KPK resmi menahan Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway pada 24 Mei 2022.
Sebelumnya, ia sempat mengajukan praperadilan, namun ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Irfan adalah Direktur PT Diratama Jaya Mandiri sekaligus pengendali PT Karsa Cipta Gemilang.
Kasus ini bermula pada Mei 2015 ketika Irfan dan pegawai perusahaan AgustaWestland Lorenzo Pariani bertemu Mohammad Syafei yang saat itu menjabat Asisten Perencanaan dan Anggaran TNI AU di wilayah Cilangkap, Jakarta Timur.
Pertemuan itu membahas akan dilaksanakannya pengadaan helikopter AW-101 VIP atau VVIP TNI AU.
Irfan selaku agen AW diduga memberikan proposal harga pada Syafei dengan mematok harga satu unit heli 56,4 juta dolar AS.
Sementara antara Irfan dengan pihak AW, harga yang disepakati adalah 39,3 juta dolar AS atau Rp 514 miliar.
Pada November 2015, panitia pengadaan helikopter AW 101 VIP mengundang Irfan dalam tahap prakualifikasi dengan menunjuk langsung PT Diratama Jaya Mandiri sebagai pemenang proyek.
Namun hal ini tertunda karena adanya arahan pemerintah menunda pengadaan helikopter.
Ketua KPK Firli Bahuri saat konferensi pers penahanan mengatakan rencana pengadaan ini berlanjut pada 2016 dengan nilai kontrak Rp738,9 miliar dan metode lelang yang hanya diikuti dua perusahaan.
“Dalam tahapan lelang ini, panitia lelang diduga tetap melibatkan dan mempercayakan IKS dalam menghitung nilai Harga Perkiraan Sendiri kontrak pekerjaan,” kata Firli.
Harga penawaran yang diajukan Irfan masih sama dengan harga penawaran di tahun 2015 senilai 56,4 juta dolar AS dan disetujui oleh PPK.
KPK menduga Irfan aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan PPK Fachri Adamy.
Proses lelang ini diduga diakali sehingga hanya perusahaan Irfan yang akan menang.
KPK menduga Irfan sudah mendapatkan bayaran 100 persen.
Ada beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi, seperti tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda.
Akibat perbuatannya, KPK menengarai Irfan merugikan negara sejumlah Rp224 miliar.
Saat digelandang ke mobil tahanan, Irfan irit bicara.
“Saya masih lama di sini, nanti saja bertanyanya,” kata dia.
Sempat muncul kekhawatiran bahwa KPK akan menghentikan penyidikan kasus korupsi ini.
Sebabnya, pihak TNI telah menghentikan penyidikan untuk tersangka dari pihak militer.
Penghentian dilakukan dengan alasan kurangnya bukti.
Penghentian penyidikan ini membuat penanganan kasus korupsi helikopter AW-101 di KPK terancam terhambat.
Pasalnya lembaga antirasuah hanya berwenang menangani kasus korupsi yang melibatkan unsur penyelenggara negara.
Sementara dalam kasus ini hanya pihak swasta yang ditetapkan menjadi tersangka.
Teranyar, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengatakan kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101 di lingkungan TNI AU kini tengah menunggu proses dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dikatakan Jenderal Andika, pihaknya masih bersikap terbuka untuk mengusut perkara tersebut.
"Sebetulnya kita juga menunggu, kan ada salah satu tanggung jawab BPK RI, jadi kita masih terbuka kok," kata Andika, Senin (6/6/2022).
"Kemudian kalau dari BPK RI sesuai dengan memang salah satu kewajiban dari BPK kemudian harus menyampaikan ke publik apa pun hasilnya kita pasti terbuka, enggak ada yang kemudian keputusan kita untuk menghentikan penyidikan, itu sebelum saya masuk," tambahnya.
Andika juga menyatakan siap berkoordinasi dengan BPK untuk membantu mengungkap kasus dugaan korupsi tersebut.
Termasuk juga berkoordinasi dengan KPK.
"Kita lihat apa keputusan dari BPK RI apa nih, kalau memang ternyata ada yang menang diduga kemudian sehingga sejalan dengan penyidikan yang dilakukan KPK, dan bahkan proses hukum yang sudah berlangsung ya kita pun harus ikut. Karena itu juga kewajiban kita," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.